Salin Artikel

Sejarah, Asal Nama, dan Budaya Mandailing Natal

KOMPAS.com - Kabupaten Mandailing Natal adalah nama sebuah wilayah di Provinsi Sumatera Utara yang diresmikan pada 9 Maret 1999 oleh Menteri Dalam Negeri.

Jauh sebelum itu, sejarah Mandailing Natal sudah sering dibahas baik tentang kisah sebelum maupun setelah masa kolonialisme di Indonesia.

Melansir dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, berikut adalah ulasan terkait sejarah, asal nama dan juga budayanya.

Sejarah Mandailing Natal

Dirangkum dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, sejarah wilayah ini dibagi menjadi tiga yaitu periode klasik, kerajaan, dan kolonialisme.

1. Periode Klasik

Dalam sejarah Mandailing Natal, periode ini dijelaskan bahwa Mandailing berasal dari nama sebuah kerajaan yang sudah ada jauh sebelum abad ke-12. Kerajaan ini terbentang dari daerah Padang Lawas hingga bagian selatan Provinsi Sumatera Barat yang kini masuk dalam wilayah Tapanuli Bagian Selatan.

Nama Mandailing berasal dari kata Mandala-Holing,yang dikaitkan dengan sebuah ungkapan dalam adat setempat. Ungkapan itu berbunyi “Surat tumbaga holing naso ra sasa” yang memiliki arti “aturan adat yang tidak bisa dihapus”.

Sementara nama Holing sendiri tercantum dalam catatan Dinasti Tang yang memerintah di Cina antara tahun 618 – 906 Masehi. Catatan itu menyebutkan bahwa Mandailing berpusat di Pulau Jawa, tepatnya di kerajaan Kalingga yang berlokasi di pesisir utara Jawa.

Adapun nama Mandailing muncul pada kitab “Negarakertagama” yang ditulis Mpu Prapanca pada masa pemerintahan Majapahit yang melakukan ekspedisi ke wilayah Sumatera di abad ke-14 atau sekitar tahun 1365 Masehi.

2. Periode Kerajaan

Di tahun selanjutnya yaitu pada 1336 Masehi ada sebuah catatan penting tentang sejarah Mandailing Natal pada naskah Pararaton yang dituliskan dalam teks Jawa pertengahan. Dalam naskah tersebut tertulis bahwa ada lima kerajaan penting yang menguasai Sumatera.

Salah satunya adalah kerajaan Aru yang didirikan pada tahun 1295 Masehi. Pada rentang waktu antara abad 13 hingga 15 masehi, Mandailing berada di bawah kekuasaan kerajaan Aru.
Baru beberapa adat kemudian muncul kekuasaan otonom yang pertama kali ditandai dengan munculnya kekuasaan Pulungan.

Kemudian muncul klan marga Nasution yang menguasai daerah Mandailing Gondang, disusul dengan klan marga Lubis yang menduduki daerah Mandailing Julu yang memerintah secara otonom.

3. Periode Kolonialisme

Perang Padri yang berpusat di Minangkabau turut membawa dampak ke Mandailing yang membuat Belanda mendirikan asisten Residen Angkola Mandailing di Panyabungan dibawah kekuasaan Gubernemen Sumatra’s Westkust pada tahun 1840.

Kemunculan pemerintahan ini mempengaruhi kekuasaan raja-raja Mandailing yang sebelumnya memerintah secara otonom.

Disusul pada tahun 1857 dibuatlah karesidenan Air Bangis yang mencakup kawasan Mandailing, Angkola, dan Sipirok. Hal ini berlanjut dengan berdirinya karesidenan Mandailing Natal pada 1885 yang beribukota di Padangsidimpuan

Seiring berubahnya peta kekuasaan, di tahun 1906 Pemerintahan Residen Mandailing Natal memindahkan pusat pemerintahan dari Padangsidimpuan ke Sibolga dan mengubah namanya menjadi karesidenan Tapanuli. Wilayah kekuasaannya meliputi afdeeling Sibolga dan Bataklanden.

Sementara daerah Natal disiapkan menjadi kota pelabuhan dagang. Dalam masa ini sosok Multatuli atau Edouard Douwes Dekker di tahun 1840 menjabat sebagai Natal sebagai Controlir Natal.

Selain menjadi tempat bertemunya pedagang dari bangsa Cina, Arab, Portugis, India dan Inggris, adanya sungai besar di daerah Natal juga merupakan lalu lintas penting sebelum dibangunnya Jalan Pos Mandailing – Air Bangis tahun 1901.

4. Pembentukkan Kabupaten

Sejarah berdirinya Kabupaten Mandailing Natal baru dimulai saat diresmikan pada 9 Maret 1999.

Pembentukan Kabupaten Mandailing Natal secara resmi didirikan berdasarkan UU nomor 12 tahun 1998 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal yang keluar pada tanggal 23 November tahun 1998.

Di awal terbentuknya, Kabupaten Mandailing Natal hanya terdiri dari delapan kecamatan yang terbagi menjadi 273 desa. Selanjutnya pada tahun 2002 keluar Perda yang membentuk 17 kecamatan yang terbagi dalam dari 322 desa serta tujuh kelurahan.

Di tahun 2007 Kabupaten Mandailing Natal kembali membentuk kecamatan baru sehingga wilayahnya memiliki 23 kecamatan dengan 353 desa dan 32 kelurahan, serta 10 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT).

Asal Nama Mandailing Natal

Jika nama Mandailing sudah tercatat dalam naskah-naskah sejarah, maka ada beberapa sumber yang menjelaskan asal penambahan nama Natal.

Dikutip dari dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, ada yang mengaitkan nama Natal dengan kedatangan bangsa Portugis.

Nama Natal berasal dari kemiripan alam pelabuhan ini yang serupa dengan pelabuhan Natal di Benua Afrika. Ada juga yang mengaitkan dengan waktu kedatangan mereka yang bertepatan dengan hari Natal.

Namun adik kandung pujangga Sutan Takdir Alisjahbana, Puti Balkis A. Alisjahbana, menjelaskan bahwa kata Natal berasal dari bahasa Mandailing dan Minangkabau. Natal diambil dari ungkapan dalam bahasa Mandailing “natarida” berarti “yang tampak” atau daerah yang nampak dari kaki gunung-gunung Sorik Marapi di Mandailing).

Kebudayaan Mandailing Natal

Setiap daerah di Indonesia termasuk Mandailing Natal memiliki kebudayaan masing-masing.

Masyarakat Mandailing Natal pun dikenal memegang teguh adat istiadat dan kebudayaan peninggalan para leluhurnya hingga saat ini.

Berikut adalah beberapa adat istiadat Mandailing Natal yang bisa kita pelajari.

1. Gordang Sambilan

Gordang Sambilan yang berarti gendang yang jumlahnya sembilan merupakan bentuk kebudayaan khas Mandailing Natal yang cukup populer.

Mulanya Gordang Sambilan hanya dibunyikan di istana untuk menyambut tamu besar atau acara pernikahan.

Untuk tujuan tertentu, memainkan Gordang Sambilan pun harus seizin raja atau pemangku adat.

Namun saat ini Gordang Sambilan sudah lebih sering digunakan oleh masyarakat setempat dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan, penyambutan, dan hari besar di Mandailing Natal.

2.Bagas Godang dan Sopo Godang

Dua bangunan penting yang selalu berdampingan ini adalah rumah raja yang disebut Bagas Godang dan balai adat atau Sopo Godang.

Sopo Godang merupakan bangunan tanpa dinding yang melambangkan demokrasi yang membuat semua orang bisa menyaksikan diskusi dan pengambilan keputusan yang dibuat di tempat tersebut.

Sementara di halaman Bagas Godang terdapat halaman luas yang disebut Alaman Bolak Silangse Utang (Halaman Luas Pelunas Hutang) yang mana rakyat yang memasuki halaman ini bisa mendapat perlindungan sang Raja dari marabahaya dan ancaman.

Karena pentingnya kedua bangunan ini bagi rakyat, maka Bagas Godang dan Sopo Godang dibuat tidak berpagar tanpa mengurangi kemuliaan penghuninya.

3.Lubuk Larangan

Salah satu kebudayaan yang memiliki makna untuk menjaga kelestarian alam adalah Lubuk Larangan.

Di Sungai Batang Gadis , terdapat Lubuk larangan tempat dilakukannya sebuah tradisi tangkap ikan.

Masyarakat hanya diperbolehkan menangkap ikan di Lubuk Larangan pada waktu yang telah ditentukan dan membayarkan sejumlah uang.

Selain untuk pendapatan setempat, kegiatan di Lubuk Larangan juga bertujuan menjaga kelestarian habitat dan keberadaan ikan-ikan langka di tempat tersebut.

Sumber:

https://berita.madina.go.id/sejarah-dan-budaya/

https://berita.madina.go.id/sejarah-dan-budaya-mandailing-natal/

https://medan.kompas.com/read/2021/12/21/160816178/sejarah-asal-nama-dan-budaya-mandailing-natal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke