KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menduga korban meninggal akibat kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin bertambah menjadi enam orang.
Sebelumnya, Komnas HAM menyebutkan bahwa jumlah korban meninggal di kerangkeng tersebut sebanyak tiga orang.
"Dua minggu yang lalu kami mendapatkan informasi bahwa jumlah korban itu bertambah tiga lagi, jadi total ada enam korban meninggal dunia di sana," kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam rilis hasil penyelidikan terkait kerangkeng manusia Rabu (2/3/2022).
Namun, Komnas HAM belum mengetahui lebih rinci terkait penyebab kematian tiga korban lainnya itu.
"Tiga orang ini apakah betul ada penyiksaan, kekerasan, dan lain sebagainya, apakah akibat tindakan lainnya atau kah mati karena dirinya sendiri, kita belum mendalami secara dalam," lanjut Anam.
Hasil penyelidikan Komnas HAM telah mengonfirmasi adanya praktik kekerasan, penyiksaan, perbudakan, hingga perdagangan orang di kerangkeng manusia itu.
Menurut Anam, telah ditemukan setidaknya 26 bentuk kekerasan yang dialami penghuni kerangkeng, dengan 18 alat yang digunakan tindakan kekerasan.
Selain itu, 19 orang yang diduga menjadi pelaku kekerasan, mulai dari pengurus kerangkeng, anggota organisasi masyarakat, serta anggota TNI-Polri.
Baca juga: Polda Sumut Tegaskan Tak Ragu Proses Anggotanya jika Terbukti Terlibat Kasus Kerangkeng Manusia
Kerangkeng manusia itu sendiri dibangun atas inisiatif Bupati Langkat sejak 2010, yang awalnya ditujukan untuk pembinaan anggota organisasi masyarakat.
Tetapi pada perkembangannya kerangkeng manusia itu menjadi 'tempat rehabilitasi'. Namun Komnas HAM menyatakan tidak ada catatan medis terkait rehabilitasi narkoba selama para korban menghuni kerangkeng tersebut.
Komnas HAM mengungkapkan kondisi terakhir kerangkeng yang disebut tidak layak itu dihuni oleh 57 orang, dua di antaranya diduga merupakan pelajar SMA.
Belum diketahui berapa banyak orang yang pernah menjadi korban selama kerangkeng itu berdiri, meski polisi sebelumnya menyebutkan jumlahnya mencapai 656 orang.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Pendirian Kerangkeng Manusia Bupati Langkat Didukung Ormas dan Organisasi Politik
Komnas HAM juga menyatakan kehadiran kerangkeng manusia itu telah diketahui oleh sejumlah institusi dan lembaga di Langkat.
"Temuan kami menunjukkan institusi negara tidak menjalankan perannya secara reguler, bahkan mengarah ke pembiaran," ujar Anam.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan praktik pelanggaran HAM yang terjadi selama belasan tahun ini telah menunjukkan adanya kekuatan lokal yang didukung oleh organisasi masyarakat, organisasi politik, serta kekuatan uang.
Dia juga menyebutkan bahwa Bupati Terbit dikenal sebagai pemain lokal untuk bisnis ilegal sawit di Langkat.
Baca juga: Temuan Komnas HAM: Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat Sudah Lama Tanpa Pengawasan
Bentuk penyiksaan dan kekerasan itu antara lain dipukuli, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam ikan, diperintahkan untuk bergelantungan di kereng seperti monyet atau yang mereka kenal dengan istilah "gantung monyet".
Selain itu, terjadi pula penyiksaan seperti kaki dipukul menggunakan palu atau martil, kuku jari dicopot, dipaksa tidur di atas daun jelatang, hingga dipaksa makan cabai.
Komnas HAM menemukan terdapat 18 alat yang digunakan untuk melakukan kekerasan tersebut seperti palu, cabai, rokok, korek, hingga besi panas.
"Selain penderitaan fisik juga ada dampak traumatis akibat kekerasan, salah satunya sampai menyebabkan salah satu penghuni kereng melakukan percobaan bunuh diri," kata Yasdad.
Tindakan kekerasan itu juga terbukti melalui bekas-bekas luka yang ditemukan Komnas HAM pada tubuh korban.
Selain itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan ada beberapa oknum anggota TNI-Polri yang terlibat dengan kasus kerangkeng ini.
Salah satu bentuk keterlibatan anggota Polri itu, adalah menyarankan pelaku kriminal menjadi penghuni kerangkeng.
Baca juga: Komnas HAM Duga Ada 19 Pelaku Tindakan Kekerasan di Kerangkeng Manusia Langkat
Selain itu, Komnas HAM juga mendapat informasi adanya anggota TNI dan Polri yang melakukan kekerasan.
"Ada oknum yang terlibat di sini, ada oknum TNI dan kepolisian. Kalau dikatakan misalnya melatih fisik gitu, sharing metodologi latihan fisik, termasuk gantung monyet misalnya, masuk di sini, kami juga menemukan di sini di samping saran, ada salah satu oknum yang juga melakukan kekerasan," kata dia.