Salin Artikel

Kasus Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Komnas HAM Sebut Ada 26 Bentuk Kekerasan hingga Keterlibatan Anggota TNI Polri

Sebelumnya, Komnas HAM menyebutkan bahwa jumlah korban meninggal di kerangkeng tersebut sebanyak tiga orang.

"Dua minggu yang lalu kami mendapatkan informasi bahwa jumlah korban itu bertambah tiga lagi, jadi total ada enam korban meninggal dunia di sana," kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam rilis hasil penyelidikan terkait kerangkeng manusia Rabu (2/3/2022).

Namun, Komnas HAM belum mengetahui lebih rinci terkait penyebab kematian tiga korban lainnya itu.

"Tiga orang ini apakah betul ada penyiksaan, kekerasan, dan lain sebagainya, apakah akibat tindakan lainnya atau kah mati karena dirinya sendiri, kita belum mendalami secara dalam," lanjut Anam.

Hasil penyelidikan Komnas HAM telah mengonfirmasi adanya praktik kekerasan, penyiksaan, perbudakan, hingga perdagangan orang di kerangkeng manusia itu.

Menurut Anam, telah ditemukan setidaknya 26 bentuk kekerasan yang dialami penghuni kerangkeng, dengan 18 alat yang digunakan tindakan kekerasan.

Selain itu, 19 orang yang diduga menjadi pelaku kekerasan, mulai dari pengurus kerangkeng, anggota organisasi masyarakat, serta anggota TNI-Polri.

Kerangkeng manusia itu sendiri dibangun atas inisiatif Bupati Langkat sejak 2010, yang awalnya ditujukan untuk pembinaan anggota organisasi masyarakat.

Tetapi pada perkembangannya kerangkeng manusia itu menjadi 'tempat rehabilitasi'. Namun Komnas HAM menyatakan tidak ada catatan medis terkait rehabilitasi narkoba selama para korban menghuni kerangkeng tersebut.

Komnas HAM mengungkapkan kondisi terakhir kerangkeng yang disebut tidak layak itu dihuni oleh 57 orang, dua di antaranya diduga merupakan pelajar SMA.

Belum diketahui berapa banyak orang yang pernah menjadi korban selama kerangkeng itu berdiri, meski polisi sebelumnya menyebutkan jumlahnya mencapai 656 orang.

Komnas HAM juga menyatakan kehadiran kerangkeng manusia itu telah diketahui oleh sejumlah institusi dan lembaga di Langkat.

"Temuan kami menunjukkan institusi negara tidak menjalankan perannya secara reguler, bahkan mengarah ke pembiaran," ujar Anam.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan praktik pelanggaran HAM yang terjadi selama belasan tahun ini telah menunjukkan adanya kekuatan lokal yang didukung oleh organisasi masyarakat, organisasi politik, serta kekuatan uang.

Dia juga menyebutkan bahwa Bupati Terbit dikenal sebagai pemain lokal untuk bisnis ilegal sawit di Langkat.

Bentuk penyiksaan dan kekerasan itu antara lain dipukuli, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam ikan, diperintahkan untuk bergelantungan di kereng seperti monyet atau yang mereka kenal dengan istilah "gantung monyet".

Selain itu, terjadi pula penyiksaan seperti kaki dipukul menggunakan palu atau martil, kuku jari dicopot, dipaksa tidur di atas daun jelatang, hingga dipaksa makan cabai.

Komnas HAM menemukan terdapat 18 alat yang digunakan untuk melakukan kekerasan tersebut seperti palu, cabai, rokok, korek, hingga besi panas.

"Selain penderitaan fisik juga ada dampak traumatis akibat kekerasan, salah satunya sampai menyebabkan salah satu penghuni kereng melakukan percobaan bunuh diri," kata Yasdad.

Tindakan kekerasan itu juga terbukti melalui bekas-bekas luka yang ditemukan Komnas HAM pada tubuh korban.

Selain itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan ada beberapa oknum anggota TNI-Polri yang terlibat dengan kasus kerangkeng ini.

Salah satu bentuk keterlibatan anggota Polri itu, adalah menyarankan pelaku kriminal menjadi penghuni kerangkeng.

Selain itu, Komnas HAM juga mendapat informasi adanya anggota TNI dan Polri yang melakukan kekerasan.

"Ada oknum yang terlibat di sini, ada oknum TNI dan kepolisian. Kalau dikatakan misalnya melatih fisik gitu, sharing metodologi latihan fisik, termasuk gantung monyet misalnya, masuk di sini, kami juga menemukan di sini di samping saran, ada salah satu oknum yang juga melakukan kekerasan," kata dia.

Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Endang Sri Melani mengatakan para penghuni kerangkeng tidak hanya dipekerjakan di kebun sawit milik Bupati Terbit, tetapi juga di kebun sawit milik orang lain.

Selain itu, korban juga dipekerjakan sebagai buruh parkir, buruh bangunan di rumah Terbit, termasuk mengeruk tanah di sekitar kerangkeng.

"Para penghuni tidak mendapatkan upah dari pekerjaannya dan hanya diberikan ekstra puding. Penghuni juga tidak bisa menolak untuk tidak bekerja karena takut dan rentan mendapat kekerasan dari pengurus kerangkeng," jelas Endang.

Atas temuan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan agar polisi menegakkan hukum pidana kepada pihak-pihak yang terlibat, termasuk memberi sanksi pada anggota TNI-Polri yang diduga terkait.

Komnas HAM meminta proses hukum dan penegakan sanksi dilakukan secara terbuka dan akuntabel.

Selain itu, Komnas HAM mendesak BNN dan BNNK mengevaluasi tempat-tempat rehabilitasi dan memastikan kasus serupa tidak terjadi di tempat lain.

Sebelumnya diberitakan, Komnas HAM mengatakan kekerasan yang terjadi di kerangkeng milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Parangin-angin dilakukan dengan berpola, dan para penghuni itu bekerja di kebun sawit tanpa dibayar.

"Kekerasan yang berpola itu, kami tahu waktunya, kami tahu apa alat yang digunakan, kami tahu siapa yang melakukan, kami tahu pengawasan untuk itu… (Keterlibatan Terbit dalam kekerasan) sedang kami dalami," kata Anam usai meminta keterangan Terbit selama dua jam di KPK, Jakarta, Senin (7/12/2021).

"Misalnya seperti MOS, Gas, atau 2,5 Kancing, ada istilah-istilah seperti itu dalam konteks kekerasan," tambah Anam.

Dalam proses penyelidikan, Komnas HAM mengatakan kerangkeng di rumah Terbit disebut masyarakat sebagai tempat rehabilitasi pengguna narkotika.

Namun, rehabilitasi tersebut tak punya izin, alias ilegal.

Choirul Anam juga mengatakan temuan tentang dugaan adanya korban jiwa akibat kekerasan selama proses rehabilitasi ini cocok dengan penyelidikan kepolisian Sumatera Utara.

Ia berharap kepolisian menaikkan kasus tersebut menjadi satu proses hukum. Karena memang dekat sekali dengan peristiwa pidana."

Pekan ini, Komnas HAM juga berencana menggali keterangan dari ahli terkait kecurigaan kerangkeng manusia di rumah Terbit sebagai wadah perbudakan modern.

Pihaknya juga berencana memeriksa Terbit Parangin-angin terkait kerangkeng manusia di rumahnya.

Sebelumnya, sejumlah pakar pidana menyatakan Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-Angin, dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam kasus dugaan perbudakan terkait penemuan kerangkeng manusia di rumahnya.

Menurut Pakar hukum sekaligus mantan anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, yang dilakukan Terbit telah memenuhi unsur eksploitasi karena diduga mempekerjakan pecandu narkoba dengan jam kerja yang tidak layak, tanpa diupah, hingga ditempatkan dalam kerangkeng yang tidak manusiawi.

Selain itu, penempatan mereka di kerangkeng yang tidak layak dan membatasi ruang geraknya dianggap sebagai bentuk penyiksaan.

Tetapi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan menyampaikan bahwa puluhan orang yang dia sebut sebagai warga binaan tersebut berada di dalam kerangkeng atas persetujuan keluarga untuk direhabilitasi akibat kecanduan narkoba dan melakukan kenakalan remaja.

"Para penghuni tersebut diserahkan oleh keluarganya kepada pengelola untuk dibina. Mereka diserahkan dengan membuat surat pernyataan," kata Ramadhan melalui konferensi pers di Jakarta, Selasa (25/01).

Meski demikian, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati berpendapat bahwa persetujuan keluarga korban tidak serta merta menghilangkan penuntutan atas praktik perdagangan orang yang terjadi.

Maidina mengatakan Bupati Langkat bisa terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara terkait kasus ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO.

Itu pun belum termasuk ancaman pidana akibat penyalahgunaan kewenangan yang dia lakukan sebagai pejabat daerah dengan menahan orang-orang tersebut di tempat rehabilitasi ilegal yang tidak sesuai standar.

"Di Undang-Undang TPPO sekali pun, persetujuan korban sama sekali tidak menyatakan bahwa TPPO-nya tidak terjadi. Kalau pun persetujuannya ada selama lingkungannya eksploitatif, prosesnya menghilangkan komunikasi dia ke pihak lain, itu adalah salah satu bentuk TPPO yang harus diusut," ujar Maidina kepada BBC News Indonesia.

Ketua Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care, Anis Hidayah menganggap klaim tempat rehabilitasi narkoba itu sebagai kedok atas perbudakan yang sewenang-wenang.

Sebelumnya, Migrant Care melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan menyebut temuan ini sebagai dugaan perbudakan modern.

Migrant Care mengatakan informasi yang didapat berdasarkan wawancara orang-orang di dalam menunjukkan orang-orang di kerangkeng ini bekerja di perkebunan kepala sawit milik bupati.

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani memastikan Bupati Langkat akan dihukum seberat-beratnya atas dugaan perbudakan tersebut.

Berdasarkan penyelidikan sementara, polisi menemukan lahan seluas satu hektare dan gedung berukuran 36 meter persegi yang dibagi menjadi dua ruangan berjeruji besi yang dibangun sejak 2012.

Namun, Ahmad mengatakan tempat ini tidak berizin dan tidak terdaftar sebagai tempat rehabilitasi.

Ramadhan juga membenarkan bahwa mereka dipekerjakan di pabrik sawit milik Bupati Langkat, namun tidak dibayar dengan dalih memberi keahlian untuk para warga binaan sebagai bekal bagi mereka selepas keluar dari tempat tersebut.

"Mereka tidak diberi upah seperti pekerja karena mereka merupakan warga binaan, namun diberikan ekstra puding dan makanan," kata Ramadhan.

Tetapi sampai saat ini, polisi belum menyebut indikasi adanya perbudakan modern dari operasional kerangkeng rehabilitasi tersebut.

"Ini (dugaan perbudakan) dalam proses, kita melihat dengan kesadaran sendiri orang tua mengantar dan menyerahkan, kemudian dengan pernyataan. Tetapi apa itu, nanti kita lihat dan dalami apa prosesnya. Kita belum bisa cepat-cepat memberi kesimpulan," ujarnya.

Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengakui bahwa kerangkeng tersebut tidak layak dan tidak memenuhi standar tempat rehabilitasi yang semestinya.

"Kalau keterangan Polda mengatakan ini rehab narkoba, bisa jadi dugaannya ini kedok ya untuk bisa memanfaatkan mereka, mempekerjakan secara sewenang-wenang, tanpa gaji, tanpa perlindungan sosial, bahkan ada dugaan penyiksaan. Itu kan perbudakan," kata Anis kepada BBC News Indonesia.

"Kami terima dokumentasi itu ada yang lebam, kemudian dikerangkeng gitu setelah bekerja. Itu kan perilaku yang keji dan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia. Walaupun rehabilitasi, tidak boleh ada perlakuan yang merendahkan, yang mengandung kekerasan, itu adalah pelanggaran HAM," lanjut dia.

Sementara itu, keluarga dari salah satu korban yang berada di dalam kerangkeng tersebut, Muhammad Fauzi, mengaku adiknya yang bernama Muhrifan Affandi dibina dengan fasilitas gratis yang meringankan beban keluarga.

Salah satu warga lainnya yang pernah dikerangkeng, Jefri Sembiring membantah ada penyiksaan selama menjalani rehabilitasi. Jefri juga mengaku tidak pernah bekerja di kebun sawit milik Bupati langkat.

"Kalau saya tidak pernah. Cuci baju, bersih-bersih tempat itu (kerangkeng), itu saja setiap hari," ungkap dia.

Terkait pengakuan tersebut Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati bependapat keterangan itu tidak bisa menjadi pembenaran atas tindak kriminal yang dilakukan.

"Pastikan dulu seluruh korban tidak mengalami intimidasi dalam keterangannya," kata Maidina.

"Penempatannya saja tidak manusiawi, ada unsur eksploitatif, ya paling tidak kondisi kerja tidak layak tetap bisa diusut," lanjut dia.

Sejumlah wartawan di Langkat mengatakan banyak warga dan wartawan sendiri yang takut berbicara soal kerangkeng dan aktivitas bupati.

Menurut Ninik, tindakan itu bisa dikatakan eksploitatif karena ada ketimpangan relasi kuasa antara Bupati Langkat dengan para pecandu narkoba yang berada dalam posisi rentan dan tidak bisa menolak pemaksaan kerja.

"Walaupun itu diatasnamakan dengan memberikan rehab, tetapi kan tidak sesuai dengan (rehabilitasi) yang seharusnya dilakukan. Tujuannya adalah mengeksploitasi korban, sedangkan korban tidak punya pilihan lain, tenaganya dipakai. Jadi ini ada perbudakan pada manusia," papar Ninik.

Dia juga mengatakan persetujuan keluarga korban tidak dapat menghilangkan tindak kriminal yang dilakukan oleh pelaku.

"Karena tanda tangan yang diberikan itu diberikan dalam kondisi yang tidak setara antara pelaku dengan korban. Korban dalam kondisi tidak ada pilihan lain kecuali mengiyakan apa yang diinginkan pelaku," tuturnya.

Senada dengan Ninik, Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan tindakan yang diklaim sebagai rehabilitasi oleh Bupati Langkat tersebut tidak memenuhi standar dan ketentuan yang berlaku menurut Undang-Undang Narkotika.

Apalagi dengan temuan bahwa orang-orang tersebut dipekerjakan secara berlebihan dari pagi hingga malam dan diberi tempat istirahat berupa kerangkeng yang tidak layak.

"Di Undang-Undang Narkotika itu ada sembilan bentuk kegiatan (terkait rehabilitasi), itu terkait proses adiksi, ada vokasional, tapi enggak dalam konteks eksploitatif. Sifatnya hanya dalam konteks pelatihan, bukan mempekerjakan dengan ada profit di dalamnya," jelas Maidina.

Misalnya menggunakan Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang memaksa seseorang melakukan sesuatu sehingga merampas kemerdekaan mereka.

"Sebelum polisi mengatakan bahwa ada persetujuan (keluarga korban) yang seolah membenarkan tindakan ini, dari awal seharusnya ini tidak boleh terjadi karena bupati tidak punya kewenangan," ujar Maidina.

Sementara itu, Ninik Rahayu menegaskan bahwa seorang bupati tidak memiliki wewenang untuk menahan dan membatasi ruang gerak seseorang. Penahanan semestinya menjadi kewenangan lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.

Rehabilitasi narkoba pun, kata dia, tidak bisa dilaksanakan secara sewenang-wenang.

"Pecandu narkoba sistem rehabilitasinya kan ada tata caranya, enggak sekedar orang ditahan. Bentuk pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan penyembuhan dan rehabiltiasi. Kalau tidak ada kewenangan di situ itu sudah merupakan kejahatan karena melampaui kewenangan yang seharusnya mereka lakukan," ujar Ninik.

*Kontributor Medan, Dedi Hermawan, berkontribusi dalam tulisan ini.

https://medan.kompas.com/read/2022/03/03/094200978/kasus-kerangkeng-manusia-bupati-langkat-komnas-ham-sebut-ada-26-bentuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke