Salin Artikel

Kenaikan Harga Sawit Belum Dirasa Cukup, Pemilik Kebun Sampai Mau Potong Semua Pohon

PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) pada Kamis (28/7/2022) mencatat tender harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) naik menjadi Rp 9.825 per kilogram, naik sekitar Rp 400 per kilogram, dibanding satu hari sebelumnya dengan Rp 9.425.

Apakah kenaikan ini sudah sampai ke petani? Bangkit Keliat (58) warga Kompleks Kejaksaan, Kota Medan, membenarkan ada kenaikan harga, tapi masih dirasa sangat rendah.

"Percumanya sama kita, enggak dapat apa-apa. Kemarin Rp 1.000 pernah, Rp 800 kira-kira tiga minggu yang lalu. Kalau kita hitung-hitung hasil dari Rp 800 itu, untuk panen saja habis kira-kira Rp 500, sisanya untuk perawatan. Upahnya per batang kira-kira Rp 3.000, belum lagi pupuknya, pupuk pun aduh..." keluh petani yang memiliki kebun sawit seluas 10 hektar ini.

Saat harga kepala sawit anjlok, pupuk subsidi menghilang. Harga pupuk nonsubsidi pun menjulang.

Pupuk adalah investasi terbesar yang dikeluarkan dalam budidaya sawit, sekitar 20-25 persen dari total biaya produksi.

"Ampun kita, susah kali dapatnya. Kalau dapat satu sak, 50 kilogram, harganya hampir Rp 1 juta. Hancur kali pokoknya, utang-utang pun sudah tak terbayar lagi. Ada petani dekat kebun kita, waktu harga sawit Rp 2.000, masih enak dia ambil Pajero, masih bisa nyicil. Sekarang, jangankan nyicil, untuk makannya aja dia susah karena Rp 1.000 lebih sekarang ini. Kalaupun Rp 1.500, masih pas-pasan untuk kepala dua ke atas," cerocos Bangkit.

Disinggung kalau harga saat itu sudah bergerak menuju Rp 1.500-an, kata Keliat, di kebunnya kawasan Pancurbatu, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, harga masih jauh tertinggal.

Apalagi lokasi kebunnya di pedalaman, jauh dari akses jalan sehingga harus mengeluarkan ongkos angkut sekitar Rp 350 per kilogram.

"Daerah pedalaman masih di bawah Rp 1.000, kalau ada yang Rp 1.900, mungkin dia mengambilnya di pabrik. Kitakan jualnya ke agen, jadi agen itu, masih biaya transportasinya, penyusutan, upah buruh," sebutnya.

Namun, keadaan itu tidak membuat Bangkit sampai mengurangi pekerjanya karena jumlahnya sudah sesuai kebutuhan.

Terlebih, harus ada orang yang menjaga kebun agar buah kelapa sawitnya tidak dicuri.

Selain itu, harus tetap ada orang membersihkan pelepah, rumput, dan parit. Jika tidak dibersihkan, katanya, malah semakin membuat mahal biaya perawatan nantinya.

Dalam sebulan, biaya perawatan yang dikeluarkan sampai Rp 1 juta.

"Jadi kalau harga masih di bawah Rp 1.500, betul-betul hancur petani sawit. Saya saja sudah berencana kalau situasi ini lebih lama, saya tebang semua, ganti buah-buahan. Sudah saya beli gergaji mesin, enggak tahu lagi. Diajukan ke bank pun, mana mau bank kayak gini," sebutnya.


Pensiunan karyawan swasta nasional ini berharap harga segera naik karena sumber penghasilannya hanya dari sana.

Hasil kebun yang digunakannya menghidupi keluarga dan membeli obat jantungnya yang mahal.

"Harapan kita, ya janganlah sampai begini kali. Tadinya masih bisa makan sedikit yang enak-enak, sekarang sudah enggak berani, terpaksa kencangkan dompet. Nanti anak-anak butuh biaya, susah. Harapkan obat BPJS, enggak mempan, terpaksa beli di luar. Begitulah, kalau harga segitu, tabungan tak punyalah. Baru berapa bulan, sudah hancur kaya gini, enggak tahu lagilah ceritanya ini, yang ada pun dijuali," kata Bangkit dengan suara berat.

Sekali lagi Bangkit menggantungkan asa supaya harga tidak semakin anjlok dan pupuk gampang didapat.

Nasionalisme dipertanyakan

Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gus Dalhari Harahap baru saja bertemu Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Kamis (28/7/2022).

Dihubungi lewat sambungan telepon, pria yang merangkap Ketua DPW Apkasindo Provinsi Sumut ini menceritakan hasil pertemuannya.

"Kami berharap penetapan harga mengikuti Permendag, cuma regulasinya agak dipercepat, jangan sebulan sekali karena harga Permendag adalah 20 persen Rotterdam, 20 persen dari Kuala Lumpur, 60 persen kita," kata Gus.

Menurutnya, KPBN mewakili pemerintah, hanya 7 persen dari 100 persen CPO Indonesia.

Pemerintah diminta merevisi harga Permentan menjadi harga Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) karena di Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Permentan/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun berdasarkan harga KPBN.

Kenapa harga Kemendag? sebab pungutan dari Kemenkeu melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK)-nya berdasarkan Permendag.

"Kenapa harga CPO dan pembentukan harga TBS dari KPB? Itu yang kami tanyakan ke Pak Wapres selaku Plt Pak Presiden. Kami janji diundang Pak Presiden, ternyata Pak Wapres, tapi enggak apa-apalah, tetap disampaikan," ucapnya.

"Kami tidak minta nol, ada pungutan tapi yang wajar kalau harga belum stabil. Tapi enggak harus enggak ada pungutan karena itu kan, pendapatan negara, tapi yang wajarlah, tidak seperti kemarin," imbuh dia.

Ditanya dampak yang dialami petani akibat anjloknya harga sawit, Gus menyebutkan, sangat besar.

"Ini anak-anak udah mau kuliah, tidak bisa lagi cuti, HTP kami sejujurnya di Rp 2.000-an. Kalau harganya pecah Rp 1.000, bukan lagi kami enggak mampu, sudah rugi. Bukan lagi berdampak, ya memang sudah matilah," tutur Gus.

Memakili 400.000 petani sawit di Sumut yang tergabung di Apkasindo, kembali Gus berharap agar harga Permendag menjadi acuan.

Katanya, harga KPBN adalah penawaran pengusaha yang prinsipnya: beli murah jual mahal.

Para pengusaha diharap beritikad baik dalam situasi darurat nasional saat ini, jangan ada lagi perbuatan-perbuatan nakal, bentuk perlawanan atau apa.

Perlu juga pengawasan melekat dari pemerintah dan sanksi hukum yang tegas karena di beberapa regulasi, sanksinya masih bersayap.

Dalam pengawasan, Aparat Penegak Hukum (APH) harusnya terlibat, baik polisi maupun kejaksaan.

"Selama ini tidak ada pengawasan, APH kurang begitu paham tentang sawit. Mereka hanya mengawasi APBD, APBN, itu aja yang tau mereka. Sawit ini, uangnya banyak, mereka terkejut juga bahwa kita devisa terbesar untuk negara tapi perlakuannya dalam tanda kutiplah, semena-mena. Contohnya, pemerintah selama ini tidak pernah mengekspor sawit, yang mengekspor swasta. Berarti kebijakan pemerintah melindungi swasta 100 persen, masa nasionalismenya enggak ada?" ungkap Gus.

Menjelang Hari Raya Idul Adha lalu, harga TBS di Aceh, Sumut, Riau dan Sumbar anjlok sampai bawah Rp 1.000 perkilogram.

Menjaga harga TBS di tingkat pekebun, pemerintah melalui menteri pertanian pada 30 Juni meminta para kepala daerah di sentra sawit membantu pekebun dengan menginstruksikan pabrik kelapa sawit (PKS) membeli TBS dari pekebun swadaya di harga Rp1.600 per kilogram.

Pemerintah daerah diminta memfasilitasi kemitraan kelembagaan pekebun dengan pabrik.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Kantor Wilayah 1 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ridho Pamungkas mengapresiasi upaya pemerintah tersebut.

Namun di sisi lain, dia tidak menampik kondisi pabrik yang juga kesulitan menjual CPO-nya ke industri karena belum pulihnya perdagangan ke luar negeri.

"Banyak PKS memilih tidak membeli TBS petani karena tangki penampungan CPO telah penuh," ungkapnya.


Harga TBS berdasarkan Dinas Perkebunan terus menurun, per 6 Juli 2022, untuk umur tanaman 10 tahun Rp 1.644 per kilogram.

Akan sulit bagi pabrik memenuhi permintaan pemerintah untuk membeli TBS di harga Rp 1.600 per kilogram.

Pasalnya, tinggi rendahnya harga pembelian TBS dipengaruhi kualitas buah dan rendemen.

"Umumnya, kualitas TBS petani plasma jauh lebih baik dari petani swadaya sehingga harga beli TBS petani swadaya di bawah acuan harga TBS yang dikeluarkan Disbun," kata Ridho.

Dia menyarankan agar selain dibuat acuan harga pembelian TBS dari petani swadaya, pemerintah juga mengatur harga berdasarkan kualitas buah yang disetor.

Hal ini akan mendorong petani untuk memperbaiki kualitas TBS yang dihasilkan.

Selain dengan pola kemitraan, perlu juga disusun metode atau model penentuan harga TBS yang lebih baik yang dapat menyejahterakan petani sawit swadaya sekaligus menjaga keberlangsungan usaha perusahaan kelapa sawit.

https://medan.kompas.com/read/2022/07/29/224158478/kenaikan-harga-sawit-belum-dirasa-cukup-pemilik-kebun-sampai-mau-potong-semua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke