Salin Artikel

Aktivis 98 Mengenang Kerusuhan Medan: Kalau Soeharto Gak Turun, Kita Mati

MEDAN, KOMPAS.com - Peristiwa reformasi 1998 di Indonesia, begitu membekas di benak Sahat Simatupang (49).

Sahat yang kala itu berusia 23 tahun adalah aktivis mahasiswa dari Institut Teknologi Medan (ITM). 

Menurut Sahat, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta tidak berlangsung spontan. Menurutnya, Kota Medan menjadi pemantik peristiwa reformasi itu.

Sebab sejak Januari 1998 di Medan, sudah bermunculan berbagai demonstrasi, yang menuntut Presiden Soeharto mundur.

Salah satu penggerak demonstrasi kala itu, organisasi ekstra kampus, Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima).

Di organisasi itu, Sahat menjadi Ketua Departemen Bidang Pendidikan dan Propaganda.

Sebelum melakukan aksi bersama organisasi mahasiswa lainnya, Sahat bergerilya hingga ke Kota Bandung untuk melakukan konsolidasi dengan banyak aktivis.

"Januari 1998 kita sudah konsolidasi nasional, aku datang ke kampus IPB, ketemu sembunyi-sembunyi dengan kawan-kawan aktivis. Waktu itu ada Pijar (pusat informasi jaringan aksi reformasi), ada Aldera (aliansi demokrasi rakyat), ada Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID)," ujar Sahat kepada Kompas.com saat dijumpai di salah satu cafe di Kota Medan, Sabtu (13/5/2023). 

Sepulang dari Jawa, berbagai upaya pengorganisiran massa untuk demonstrasi menurunkan Soeharto dilakukan.

Sayangnya di kala itu, rezim hanya memperbolehkan unjuk rasa dilakukan dalam kampus. Itu pun mendapat pengawalan ketat dari tentara dan polisi.

Meski begitu, unjuk rasa tetap dilakukan di kampus ITM di Jalan Gedung Arca, Kota Medan. Semangat para mahasiswa kala itu begitu berapi-api.

"Kita unjuk rasa dari Januari sampai Maret di kampus, kita sudah berani minta turunkan Soeharto. Kita pakai baju cokelat (almamater ITM), kami berteriak 'Jasku berwarna cokelat kampusnya perjuangan rakyat' spanduk banyak-banyak kami buat. Kita berorasi minta Soeharto turun," kenang mahasiswa Jurusan Geologi ITM angkatan 1993 ini. 

Ketika aksi di ITM, Forsolima menggelar mimbar bebas, siapapun bisa berorasi.

Tepat di Jum'at (24/4/1998), orator yang dihadirkan seorang nelayan bernama Uncu Sulaiman. Saat berada di mimbar, Uncu mengaku menjadi korban penembakan tentara.

Spontan, cerita Uncu memantik semangat mahasiswa melawan rezim. Puncaknya pada Senin (27/4/1998), ribuan massa dari berbagai kampus datang ke ITM.

Mereka lalu keluar kampus untuk melakukan konvoi ke Makam Pahlawan, yang lokasinya tidak jauh dari kampus ITM.

Namun baru saja keluar kampus, para mahasiswa dicegat tentara dan polisi. Bentrokan pun tidak terelakkan. 

"Tiba-tiba ditembak teman saya Ronaldson Siahaan, dia jatuh bersimbah darah kena tembak di bagian dadanya 2 kali, aku cuma jarak 5 meter dari dia, aku pas lagi orasi," ujar pria yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 itu.

Setelah Ronaldson terkapar, para tentara dan polisi di sana menembaki para mahasiswa dengan gas air mata.

"Si Ronalsdon kita bawa ke klinik ITM dan nggak bisa lagi dirawat di sana, kami naikkan mobil Corola, aku bopong ke Rumah Sakit Brimob, 3 hari kemudian dia dipindahkan ke Jakarta, kondisinya selamat, namun informasi yang saya dapat dia mengalami cacat," ujar Sahat.

Setelah Itu Sahat tidak pernah lagi bertemu dengan Ronaldson, keluarga meminta kasus tertembaknya Ronalson tidak di ekspos.

Padahal kala itu, ia telah menyerahkan sejumlah selongsong peluru ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Medan.    

"Kami tidak sempat kontak keluarganya, tapi mereka tidak setuju diekspos, kami mendapatkan informasi itu dari dosen ITM, Mardani Ginting," ujar Sahat.

Selain Ronaldson banyak teman mahasiswa yang menjadi korban aparat kala itu. 

"Karena sampai malam kita bentrok, yang kita pikiran kala itu, kalau nggak Soeharto yang tumbang yang kita mati," tandas Sahat

Ricuhnya demo di ITM selanjutnya memantik kampus USU, IKIP, Nomensen, STIK-P dan kampus lainnya.

Mereka mulai berani berunjuk rasa di luar kampus. Kerusuhan di mana-mana pun tidak terhindarkan. Puncaknya terjadi pada 9-10 Mei 1998, penjarahan dilakukan di berbagai tempat. 

"Medan lagi panas-panasnya, bakar-bakaran, DPRD Sumut lumpuh, Aksara Plaza dijarah," katanya. 

Saat kerusuhan, aktivis mahasiswa lah yang paling dicari tentara kala itu. Hidup dan mati mereka betul-betul dipertaruhkan.

"Kalau Soeharto ngak turun, kami mati, yang kita hadapi senjata laras panjang, tank, panser TNI, kami langsung mengungsi karena kampus dikepung. Kami naik taksi Delta transit di hotel yang banyak orang Acehnya. Aparat tidak berani masuk situ, karena mungkin sedang ada konflik GAM," ujarnya. 

Selama masa-masa demo, Sahat dan para aktivis juga berpindah-pindah tempat. Mereka pernah juga bersembunyi di rumah kecil di Kecamatan Medan Johor.

Lokasi tempatnya milik mantan Wali Kota Medan, Bachtiar Jafar. Penjaganya merupakan seorang guru silat.

"Jadi dia yang 'magari' kami, ada ghaib-ghaib dikit lah. Intinya pada saat itu kami juga nggak begitu percaya sama kawan sendiri, kita selalu curiga aja kalau kita ditangkap kita mati, karena siapa yang berani lawan Soeharto waktu itu," ujarnya.

Meskipun begitu, Sahat bersyukur karena akhirnya rezim Soeharto runtuh. Baginya, peristiwa Mei 1998 adalah peristiwa memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diawali krisis moneter, lalu korupsi dari keluarga Soeharto.

"Ini bukan by design, ini pengejahwantahan rasa marah masyarakat kepada keluarga Cendana yang tampak hidup mewah di tengah penderitaan rakyat. Lalu juga ada krisis moneter. Ini aspirasi masyarakat yang dibulatkan oleh gerakan mahasiswa. Ditunjuklah oleh satu tujuan,  Soeharto harus turun," tegas Sahat. 

Namun, walau berhasil meruntuhkan rezim Soeharto, tidak dipungkirinya, kala itu banyak mahasiswi yang menjadi korban pelecehan seksual para aparat di lapangan.

Peristiwa itu sudah dilaporkan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Medan kala itu.

"Kawan-kawan perempuan banyak yang mengalami pelecehan seksual, tapi kasus itu kalah kampanye saat itu, kampanye politik waktu itu, anti-Soeharto turunkan Soeharto pecah isunya, jadi kan nggak ada lagi perhatian kepada perempuan yang mengalami pelecehan seksual," ujarnya. 

Di sisi lain pihaknya menyoroti banyaknya kasus kekerasan 1998, karena itu Sahat membentuk  Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98.

Organisasi ini terdiri dari perkumpulan aktivis 1998. Sejauh ini kepengurusan tersebar di 6 wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh, Sumut, Jambi, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat.   

Forum ini meminta pemerintah mengusut tragedi Mei 1998 hingga tuntas. Para pelaku kejahatan 1998 harus diadili.

"Bangsa ini harus jadi bangsa yang beradab, tragedi Trisakti adalah pelanggaran HAM berat, artinya itu kan harus diselesaikan ke Peradilan kan, nggak bisa seperti sekarang, mau kita rekonsiliasi? apa yang mau kita rekonsiliasi? siapa yang salah? Pertanyaan sederhana, mereka ditembak pakai senjata, pakai peluru, itu perintah siapa? ulah siapa pada waktu itu?" tandasnya.

Selain tragedi Trisakti, Sahat juga menyoroti kasus diculiknya seniman Wiji Thukul, yang lantang melawan rezim Soeharto kala itu.

"Nggak nampak sampai sekarang, nggak ketemu dimana mayatnya, gila nggak? Satu negara ada aktivis yang memprotes pemerintah, sampai sekarang nggak ketemu mayatnya, bangkai kemana, nggak ketemu," ujarnya. 

Menurutnya, negara harus hadir dalam memperjuangkan keadilan para korban 1998.

Sahat merasa miris lantaran selama ini tragedi 1998 dimunculkan saat moment politik saja. Namun hingga mendekati 25 tahun Reformasi, para korban 1998 belum mendapat keadilan, siapa pun presidennya.

"Kita skeptis kepada para calon presiden, mereka ini tidak akan berani menuntaskan kasus penculikan 1996 hingga 1998. Jokowi sendiri ngak berani, kalau berani tuntaskan ini, supaya clear," ujarnya.

"Generasi kita juga membaca buku, jangan sampai mereka mempersepsikan negara ini tidak berhasil menuntaskan pelanggaran HAM dan tidak mengadilinya secara fair, itu berbahaya," tutupnya.

https://medan.kompas.com/read/2023/05/14/060300578/aktivis-98-mengenang-kerusuhan-medan--kalau-soeharto-gak-turun-kita-mati

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com