Salin Artikel

Bupati Nonaktif Langkat Divonis 2 Bulan Kepemilikan Satwa Dilindungi, Aktivis Geruduk Kejati Sumut

MEDAN, KOMPAS.com - Sejumlah aktivis lingkungan dari sejumlah lembaga melakukan aksi damai di depan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) pada Senin (4/9/2023) karena prihatin dengan vonis 2 bulan penjara kepada eks Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin (TRP) atas kepemilikan satwa dilindungi seperti orangutan dan lainnya.

Kepada wartawan, Ketua Forum Konservasi Orangutan Sumatera (FOKUS), M. Indra Kurnia mengatakan, aksi damai ini untuk menyampaikan keprihatinan terhadap vonis Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Stabat pada pada 28 Agustus 2023 terhadap terdakwa TRP.

"(TRP) divonis 2 bulan penjara dengan denda Rp 50 juta. Kita prihatin karena TRP sebagai, sebelumnya pejabat publik yang seharusnya paham betul dengan aturan perundangan yang berlaku ternyata memiliki orangutan dan satwa lainnya di rumahnya," katanya.

Melalui aksi ini, aktivis ingin mendorong Kejati Sumut mengajukan banding atas putusan hakim karena dinilai tidak memberikan efek jera ke pelaku dan tidak ada prinsip keadilan.

Berdasarkan sepengetahuannya, ini merupakan kasus pertama kepemilikian satwa secara ilegal oleh pejabat publik yang diproses hukum.

Dia berharap kasus ini bisa menjadi pintu masuk bagi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengambil langkah selanjutnya. Dia menilai, kasus ini tidak bisa dilihat hanya dari sisi pidana tetapi juga perdata.

"Harus ada tanggung jawab lain oleh pelaku atas kepemilikan orangutan karena banyak satwa setelah disita butuh rehabilitasi dalam jangka waktu cukup lama sampai dilepas liar. Ini jadi tanggung jawab siapa, negara. Artinya ini kan menjadi beban baru buat negara sementara proses rehabilitasi ini bukan hal mudah," katanya.

Dia mencontohkan, pada kasus korupsi ada istilah pemiskinan. Pada kasus kejahatan terhadap satwa, menurutnya harus ada proses pedata yang dilakukan agar pelaku kejahatan satwa membayar ganti rugi kepada negara sampai orangutan tersebut bisa dilepasliarkan ke alam.

Dalam aksi damai ini mereka membawa spanduk besar dan poster bertuliskan Justice For Orangutan. Terdapat sejumlah lembaga tertulis di spanduk dan poster itu yakni Forum Orangutan Indonesia (Forina), YOSL-OIC, FOKUS, Walhi, Green Justice Indonesia, Centre for Orangutan Protection (COP), Yayasan Petai, dan TaHuKaH.

Sudah bersurat ke Kejaksaan

Indra menambahkan, sebelumnya pihaknya sudah menyampaikan surat ke Kejaksaan Negeri Langkat dengan tembusan ke Kejati Sumut dan Jaksa Agung, KLHK, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lainnya bahwa pihaknya mendukung agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding atas putusan Majelis Hakim PN Stabat.

"Mudah-mudahan ini bisa menjadi perhatian JPU untuk proses hukum. Bukan berarti tidak kawal tapi sejauh ini sudah kita kawal," katanya.

Ketika ditanya apakah masih ada harapan hukuman lebih berat mengingat tuntutan dari JPU hanya 10 bulan penjara, Indra mengatakan, pasal yang digunakan JPU adalah terkait kelalaian di Undang-undang (UU) No. 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya yang mana hukuman maksimal 1 tahun penjara.

"Itu yang buat kita, kita merasa bahwa JPU tidak serius. Kenapa dibuat 10 bulan sementara itu bisa 1 tahun mengingat TRP ini pejabat publik. Menurut kami ini sebenarnya tidak masuk kelalaian," katanya.

Dikatakannya, pada proses persidangan disampaikan bahwa awalnya orangutan ini bukan milik TRP tetapi ada pejabat sebelumnya yang menitipkan.

Pihaknya menilai hal tersebut patut dicurigai atau diduga adanya praktik gratifikasi oleh pejabat publik. Sehingga, penegak hukum seharusnya memerhatikan itu.

"Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat publik yang yang memelihara satwa liar yang notabebane setahu kita banyak tak meiliki izin. Bisa jadi ini gratifikasi. Bukan tidak mungkin siapapun, termasuk pejabat publik bisa menjadi bagian dari mata rantai perdagangan satwa liar," katanya.

Harus izin Presiden

Dijelaskannya, pemeliharaan orangutan tidak bisa sembarangan. Tidak boleh untuk tujuan kesenangan.

"Setahu kita, izin bukan untuk tujuan kesenangan ya, hanya dari presiden ada beberapa satwa, termasuk orangutan harimau. Selebihnya kalaupun lembaga koservasi dalam bentuk taman hewan atau kebun binatang ini kan ada yang mengatur, bukan dipelihara perorangan. Itupun tujuannya untuk edukasi. (Orangutan di rumah TRP) bukan untuk edukasi/konservasi bukan untuk hanya untuk kesenangan pribadi," katanya.

Diberitakan sebelumnya, pada 28 Agustus 2023 Majelis Hakim PN Stabat memvonis terdakwa Terbit Rencana Perangin-angin dengan hukuman 2 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsidair 1 bulan kurungan atas kepemilikan 1 orangutan sumatera (Pongo abelii), 1 ekor monyet sulawesi (Macaca nigra), 1 ekor elang brontok (Nisaetus cirrhatus) dan 2 ekor burung tiong mas atau beo (Gracula religiosa). Dalam sidang, JPU menuntut 10 bulan penjara dengan denda Rp 50 juta.

Diketahui, pemeliharaan satwa liar dilindungi di rumah Terbit Rencana Perangin-angin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat itu diketahui saat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (18/1/2022) malam.

Satwa dilindungi itu dievakuasi tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut) pada Selasa (25/1/2022) sore. Setelah dievakuasi, orangutan itu dibawa ke pusat rehabilitasi orangutan di Batumbelin, Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang.

https://medan.kompas.com/read/2023/09/04/200945878/bupati-nonaktif-langkat-divonis-2-bulan-kepemilikan-satwa-dilindungi-aktivis

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com