Salin Artikel

Rusaknya Ekosistem Pesisir Timur Sumatera gara-gara Deforestasi Mangrove (Bagian 2)

MEDAN, KOMPAS.com - Pesisir pantai timur Sumatera Utara yang membentang dari Langkat hingga Labuhanbatu Utara menghadapi tantangan berat.

Praktik tak ramah lingkungan seperti perambahan, pembukaan lahan untuk pertambakan, perkebunan kelapa sawit, industri arang bakau, hingga pengerukan pasir menjadi penyebab utama hancurnya sabuk hijau.

Di Desa Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, nelayan menghadapi masalah abrasi yang semakin mengkhawatirkan. Hutan mangrove dengan ketebalan ratusan meter lenyap. Kini hanya tersisa sedikit mangrove sebagai benteng terakhir.

Manfaat mangrove

Pakar tropical ecology and biodiversity conservation, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Onrizal mengatakan, deforestasi mangrove terjadi saat pertambakan udang dan ikan massif dilakukan pada tahun 1970-an.

"Selain tambak, penyebab deforestasi pesisir adalah alih fungsi lahan menjadi kebun kelapa sawit. Kita bisa lihat sendiri di Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai sampai Labuhanbatu, yang dulunya tambak (sekarang) berubah jadi (kebun) sawit. Ada juga yang dulunya hutan mangrove, dibabat jadi kebun sawit. Tekanan lainnya adalah arang bakau," katanya.

Di banyak jurnal penelitian yang ditulisnya, Onrizal banyak mengulas manfaat hutan mangrove yang tak hanya dirasakan manusia tetapi juga keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut.

Secara ekologis, mangrove menjadi pelindung pantai dari abrasi dan habitat berbagai jenis hewan dan tumbuhan.

"Kalau (hutan mangrove) rusak, kerugian yang dialami tidak bisa dihitung. Dan kita sudah melihat kerusakan itu di mana-mana, siapa yang paling merasakan kerugian, tak hanya nelayan tradisional dan masyarakat sekitar, kita semua pun rugi besar. Dua per tiga biota perairan itu hidupnya tergantung pada kualitass mangrove," katanya.

Beberapa hal penting yang harus segera dilakukan adalah mempertahankan hutan mangrove yang tersisa dan menghentikan laju deforestasi. Kemudian, harus dilakukan pemulihan secara terintegrasi. Berbagai kajian juga masih harus dilakukan begitu juga dengan kampanye pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.

"Kalau tidak dilakukan, tidak lama lagi kita akan semakin banyak kehilangan. Apalagi yang tersisa tinggal sedikit dan kritis," katanya.

Direktur Green Justice Indonesia Dana Prima Tarigan mengatakan, kerusakan di pesisir saat ini kondisinya sudah kritis.

"Ini kondisinya sudah darurat, tak ada waktu lagi menunggu untuk menanganinya. Kalau tidak, sudah pasti akan semakin jauh abrasi mengancam warga di pesisir," katanya.

Menurut Dana, hingga saat ini tidak ada pembahasan atau langkah konkret dari pemerintah kabupaten, provinsi, atau nasional terkait kerusakan mangrove.

Faktanya, banyak masyarakat pesisir kehilangan mata pencaharian tangkapan laut seperti kepiting, udang, ikan, kepah, dan sebagainya. Banyak masyarakat beralih profesi dari nelayan menjadi buruh kapal milik cukong, buruh bangunan, atau pekerjaan lain.

Salah satu kasus terparah di Pantai Labu, Deli Serdang. Pengerukan pasir di 2008 sangat berdampak bagi masyarakat. Ratusan meter daratan dan hutan mangrove yang dulu lestari kini lenyap.

"Kerusakan itu bermula dari pengerukan pasir, akibatnya abrasi hebat tak terelakkan. Ini ancaman berbahaya bagi masyarakat karena sewaktu-waktu mereka tergusur," katanya.

"Jangan juga menyalahkan alam karena ini terjadi akibat tindakan yang sebenarnya tidak boleh dilakukan di pesisir," sambungnya.

Pengerukan pasir untuk pembangunan runway Bandara Kualanamu

Ketua Serikat Nelayan Deli Serdang, Abdul Ajid mengatakan, pengerukan pasir laut pada 2008 untuk kebutuhan pembangunan runway Bandara Internasional Kualanamu.

"Dulu pantai ini masih jauh, sekitar 200 meter. Salah satu penyebab abrasi adalah pengerukan pasir untuk Bandara Kualanamu. Dulunya mangrove di sini sangat bagus. Hitungan 10 tahun, sudah tergerus 200 meter. Hutan mangrove yang kami tanam ini 20 tahun lalu lenyap," ujarnya.

Wilayah tangkapan nelayan tradisional sejauh 12 mil. Namun faktanya, 200-300 meter dari bibir pantai, nelayan sudah bertemu dengan kapal dari daerah lain yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan. Alhasil, nelayan tradisional terpaksa mencari ikan lebih jauh.

"Jadi nelayan tradisional ini ada yang ke laut hitungan seminggu baru pulang, tapi ada juga ibu-ibu atau yang sudah tua cari ikan, kerang, kepiting dan udang di dekat-dekat sini. Nah ini sudah sedikit sekali tangkapan, semakin berlumpur. Sebelum ada pengerukan pasir tak pernah seperti ini," katanya.

Abdul berkata, berkurangnya tangkapan nelayan tradisional karena hilangnya mangrove.

Pihaknya dan kelompok tani maupun lembaga yang perhatian terhadap nasib nelayan dan pesisir sudah berupaya keras untuk terus melakukan penghijauan.

Saat ini sisa hutan mangrove hanya sedikit. Jika abrasi, air laut akan masuk ke daratan.

"Kalau laut semakin masuk ke daratan, siap-siap yang terburuk. Sudah ada buktinya, ratusan meter sudah ditelan laut," katanya.

Rehabilitasi mangrove

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera Utara, Yuliani Siregar mengatakan, berdasarkan data Peta Mangrove Nasional KLHK RI pada 2021, luas eksisting mangrove di Sumatera Utara seluas 57.490 Ha dengan luas hutan mangrove yang mengalami degradasi seluas 29.418 Ha.

"Penyebabnya terabrasi oleh air laut, lahan terbuka akibat perambahan, alih fungsi lahan menjadi tambak, pemukiman dan kebun sawit," katanya.

Upaya penanganan yang sudah dilakukan di antaranya kegiatan rehabilitasi mangrove berupa kegiatan penanaman, penyuluhan dan patroli yang dilaksanakan oleh UPT KPH setempat yang memiliki kawasan mangrove.

Penanaman mangrove yang telah dilaksanakan di Sumatera Utara baik oleh UPT KPLHK, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara maupun Instansi terkait.

"Hingga 2022, (penanaman mangrove) mencapai 8.272 Ha yang tersebar di Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu Utara. dan Kota Tanjung Balai," katanya.

Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund - Pulitzer Center.

https://medan.kompas.com/read/2023/09/14/135237378/rusaknya-ekosistem-pesisir-timur-sumatera-gara-gara-deforestasi-mangrove

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke