Salin Artikel

Menggantungkan Hidup dari Tangkapan di Pesisir Timur Sumut (Bagian 3)

MEDAN, KOMPAS.com - Rusaknya hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara menjadi mimpi buruk bagi para nelayan tradisional.

Tokoh masyarakat di Desa Paluh Sibaji, Abdul Hamid mengatakan, proses mencari ikan dulu dan sekarang sudah sangat berubah.

Di tahun 1980-an, nelayan bisa melaut satu hari dan hasilnya untuk satu minggu. Namun sekarang kebalikannya.

Nelayan sangat mungkin berada di laut hingga seminggu dan hasil yang didapat pun tidak seberapa. Selain itu, tak jarang para nelayan berutang demi melaut dan membayar utang saat sudah kembali ke darat.

"Itu sama dengan ke laut seminggu untuk hidup satu hari. Begitu lah sulitnya sekarang," katanya.

Hasil tangkapan pun sangat berkurang. Padahal dulu, nelayan tradisional di Pantai Labu sangat mudah mendapatkan ikan. Hanya membawa alat seadanya, hasil tangkapan melimpah.

"Dulu untuk dapat dua kotak (tangkapan) gampang kali. Nggak lama (waktunya). Habis itu bisa bermalas-malasan, nyantai, karena hasil penjualan bisa untuk hidup seminggu," katanya.

Sekitar tahun 1986, tambak udang mulai muncul di desanya. Area persawahan dan lahan palawija yang mengandalkan air genangan dialihfungsikan menjadi tambak udang.

"Jadi tambak ini jebolkan air langsung dari laut. Udah masuk air laut, ya gak bisa lagi lah padi atau sayur hidup. Kalau nanti masyarakat keberatan (adanya tambah), dibilang lah 'eh, jangan ganggu ini punya Soeharto'," katanya.

Abdul berharap, masalah yang dirasakan masyarakat yang tinggal di pesisir dan menggantungkan hidupnya dari hasil laut menjadi perhatian banyak pihak.

"Kalau tidak ada penanggulangan, kampung ini bakal tenggelam. Habis. Harus ada pemasangan tanggul, pemulihan mangrove. Ini untuk memecah ombak dan mencegah abrasi. Masyarakat akan semakin miskin dan meninggalkan desa karena tak lagi menghidupi dengan kerusakan seperti ini," tegasnya.

Menggantungkan hidup dari tangkapan di pesisir

Di ujung Jalan Young Panah Hijau, Gang Tower, Labuhan Deli, Medan Marelan seorang pria bertelanjang dada tampak mengambil sesuatu di dalam air menggunakan jaring tanggok ikan. Hasilnya dia tuang di atas perahu.

Bukan batu, tetapi kerang dara yang bentuknya mirip kerang batu. Dia tak peduli cuaca sedang mendung dan gerimis. Sekitar 4 tahun yang lalu, mangrove tidak tumbuh di sini. Ikan, udang, kepiting dan kerang sangat sulit ditemukan. Sekarang berbeda.

Namanya Selamat, panggilannya Amat. Dia lahir dan besar di tempat ini. Dia mengajak naik ke perahu sembari bercerita kondisi tempatnya menggantungkan hidup dari tangkapan di pesisir.

Dia menegaskan, meskipun tinggal di dekat laut, orangtuanya bukanlah pelaut, melainkan petani. Sekitar tiga ratus meter dari pondoknya, dia menghentikan perahunya di bawah tower listrik.

"Di titik ini, dulunya adalah sawah. Orang tua saya adalah petani padi, di sini ini lah sawahnya, pas dekat dengan tower ini," katanya.

Amat berkata, wilayah yang kini berair itu dulunya areal persawahan dan daratan yang ditanami kelapa.

Tahun 1978, ada pembangunan tower listrik dan pembuatan parit. Pada saat itulah air asin masuk ke areal persawahan dan daratan. Petani saat itu tak bisa berbuat banyak meski tak lagi bisa menanam padi.

"Masuknya air asin secara perlahan sehingga tidak bisa bercocok tanam padi dan kelapa jadi sekarang ini inilah yang bisa tumbuh di wilayah ini hutan-hutan di sini," katanya.

Dengan kondisi yang terjadi, masyarakat pun mulai meninggalkan wilayah itu. Kemudian masuk tambak udang dan ikan di tahun 1980 sampai 1990-an. Tak berlangsung lama dan ditinggalkan begitu saja sehingga tandus.

Sejak 7-8 tahun yang lalu, beberapa orang yang sadar dengan kondisi lingkungannya mulai berbenah dengan menanami mangrove. Masyarakat itu membentuk kelompok tani. Setelah mangrove berhasil tumbuh dengan baik, nelayan tradisional mulai bisa mengambil manfaatnya.

"Dulunya kepiting, ikan, udang alam susah didapat. Nah, adanya hutan mangrove ini sekarang gampang dapatnya. Penghasilan lainnya ya dari budidaya kerang. Kalau kerang ini tidak merusak mangrove, tidak seperti tambak. Jadi kami rasakan betul manfaat mangrove ini," katanya.

Orang yang turut andil memulihkan mangrove di sini adalah Wibi Nugraha.

Penerima penghargaan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada Maret 2023 dan Juara terbaik 1 Nasional Wana Lestari 2019 Kader Konservasi Alam Nasional itu mengatakan upaya restorasi mangrove ini hanya bisa dilakukan bersama-sama.

Tahun 2020 dia bersama anggota Polri yang bertugas di Polairud Polda Sumut, Abdul Kadir Nasution dan juga anggota kelompok tani melakukan penanaman secara swadaya. Penanaman mangrove dilakukan setiap hari. Bibitnya pun dicari menggunakan perahu.

"Perjuangan kawan-kawan dari kelompok tani, kelompok mangrove di sini, hasilnya menurut saya sangat memuaskan tinggal bagaimana pihak-pihak di luar memberikan kesempatan ataupun kepercayaan kepada Kelompok Tamba Deli untuk membantu mereka merealisasi merestorasi hutan mangrove. Ikan, kepiting dan udang udah mudah didapat, beda dengan beberapa tahun lalu. Manfaat mangrove sangat dirasakan," katanya.

Hingga kini sekitar 40 hektare lahan yang dulunya tambak terbengkelai berubah menjadi hutan mangrove yang kondisinya terjaga. Masyarakat yang dulunya enggan menanam mangrove kini merasakan dampaknya dan dengan sendirinya menanam mangrove.

"Sekali penanaman selama 4-5 hari, paling sedikit bawa 3.000 batang. Nah, lestarinya mangrove ini mereka bisa budidaya kerang. Tidak merusak mangrove, ekonomi terbantu. Makanya kita harus punya niat, kompak dan bersemangat," katanya.

Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund - Pulitzer Center

https://medan.kompas.com/read/2023/09/14/215512578/menggantungkan-hidup-dari-tangkapan-di-pesisir-timur-sumut-bagian-3

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com