Salin Artikel

Cuaca Tak Menentu, Cabai Merah di Deli Serdang Terancam Gagal Panen Raya

Mereka terancam gagal panen raya karena daun mengering dan buah tidak optimal.

Ditemui di gubuknya, Sarjono mengaku tak tahu harus berbuat apa ketika panennya anjlok. Biasanya ia bisa panen 300 kg per hari, namun kini hanya 150 kg per hari. Di saat yang sama serangan hama nyaris tak terkendali.

Menurutnya, panas kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Sebab cuaca panas bisa tiba-tiba berubah menjadi hujan deras.

"Kalau panas kali ini tidak bagus untuk cabai. Begitu juga kalau hujannya deras kali, juga tidak bagus untuk tanaman," tutur Sarjono, Jumat (6/10/2023).

Sarjono mengaku tahun lalu dua kali gagal panen. Dia berharap, tahun ini tak terjadi lagi. Namun melihat kondisi saat ini, dia pesimistis bisa panen raya.

"Intinya, kalau terlalu panas atau terlalu deras hujannya, berat untuk panen raya. Panen biasa pun turun drastis," beber dia.

Pengurus Kelompok Juli Tani, Yareli mengatakan, daerahnya menjadi cluster cabai merah binaan Bank Indonesia sejak 2017.

Sebagai cluster cabai merah, para petani mendapatkan capacity building dan menerima sejumlah bantuan berupa alat mesin pertanian (alsintan) untuk pendukung budidaya. Selain itu mendapat automatic weather station (AWS) dan lainnya.

Kelompok tani yang berdiri pada Juli 1982 ini mengelola lahan seluas 48 hektar. 40 hektar di antaranya ditanami cabai merah dan 8 hektar ditanami padi.

Hasil panen cabai merah dipasarkan ke sejumlah titik yang sudah bekerjasama atas inisiasi BI di Riau, Pekanbaru, dan Aceh.

"Yang kita rasakan di 2 tahun terakhir ini, mulai terhitung sejak Musim Tanam (MT) 2 pada Desember 2022, panen di bulan Maret-April itu terjadi penurunan produksi," tutur dia.

Dia menduga, penurunan ini tidak lepas dari faktor cuaca, baik elnino maupun lanina.

"Karena dari hasil pantauan alat kita AWS itu, suhu di sini mencapai 36,5 derajat dan suhu itu sebenarnya kurang cocok untuk pertumbuhan tanaman cabe karena idealnya dia suhu itu 28 sampai 32 derajat Celcius pada saat siang hari dan malam hari itu bergeser 18-22 derajat Celcius," katanya.

Dikatakan Yareli, cuaca saat ini panas cukup luar biasa sehingga pertumbuhan tanaman cabai kurang bagus.

Saat buah cabai yang seharusnya besar maksimal, namun karena daunnya rusak akhirnya tidak bisa terisi (kopong). Sehingga terjadilah penurunan produksi.

"Jadi dari hasil rekapitulasi produksi di MT2 2022 kemarin terjadi penurunan dari sebelumnya 20 ton menjadi 17 ton per hektar. Saat ini di MT1 2023 penanaman di bulan Juni kemarin juga akan terjadi penurunan karena kita lihat ini rata-rata tanaman cabe kita baru pembentukan ke-8 sampai ke-10 itu bagian atas tanaman cabenya yaitu sudah tidak maksimal. Normalnya, bisa 15-20 kali petik, full panen," katanya.

Menurutnya, penurunan produksi memukul petani. Saat itu harga pembelian petani (HPP) Rp 15 ribu per pohon, angka itu naik dari 2 tahun sebelumnya.

Karena harga pupuk melonjak dari biasanya Rp 480 ribu untuk 50 kg menjadi Rp 780 ribu-900 ribu.

"Jadi biarpun harga Rp 28 ribu per kg, itu bukan angka yang aman bagi petani," tutur dia.

Situasi yang tidak menentu ini juga membuat populasi hama khususnya trip, tungau, kutu kebul nyaris tidak terkendali. Agar tanaman aman, petani terpaksa harus melakukan penyemprotan lebih rapat.

"Durasi penyemprotannya itu harus dirapetin. Biasanya seminggu 3-4 kali, sekarang ini dua hari sekali wajib disemprot. Kalau tidak tanamannya rusak. Biaya operasional pun bertambah," katanya.

Gunakan pupuk kimia dan organik

Dalam prosesnya, petani tidak bisa hanya menggunakan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik hanya pada awal pengolahan.

Namun saat perawatan dari vegetatif ke generatif harus full kimia, untuk mengejar produksi. Sehingga untuk menjadi organik, saat ini belum bisa dilakukan.

"Belum bisa kenapa, karena pemerintah juga tidak membedakan antara harga cabe organik dengan cabe yang konvensional," katanya.

Sumut tidak terdampak elnino

Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Utara (UPT PTPH Sumut), Marino menjelaskan, yang terjadi di Sumatera Utara bukan elnino melainkan lanina. Begitu juga di Sumatera Barat dan Aceh.

Posisi sekarang ini adalah lanina, banjir, hujan. Dibandingkan dengan provinsi lain seperti Sumatera Selatan, Lampung, dan daerah Jawa itu kan termasuk El Nino.

"Pak Yareli itu punya alatnya untuk mendeteksi suhu, kelembaban, dan lainnya. Pak Yareli membacanya dari situ. Kedua, mungkin untuk produksi cabe pada musim tanam ini berkurang dibandingkan pada musim-musim panen sebelumnya," katanya.

Pihaknya mencatat, periode 1-15 September 2023 pada tanaman padi terkena banjir seluas 461,3 ha di Kabupaten Asahan, Batubara, dan Kota Medan. Dari angka tersebut, 8 hektar di Desa Air Putih, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan mengalami gagal panen atau puso.

"Belum ada laporan yang kena kekeringan atau elnino. Laporan hanya terkena banjir," ucap dia.

Mengantisipasi jika terjadi banjir, pihaknya sudah memiliki sarana dan prasarana terutama untuk pompa air di gudang brigade di Langkat, Deli Serdang, dan Asahan.

Namun demikian, Sumatera Utara pernah mengalami gagal panen akibat elnino pada tahun 2015.

Gagal panen itu terjadi pada komoditas jagung di Kabupaten Karo. Sebab selama beberapa bulan ini tidak ada air sehingga tanaman yang 15 hari tanam itu busuk.

"Langkah ketika terjadi kekeringan, pompanisasi all in, ada masuk ada keluar seandainya ada air kemudian kita membantu para petani untuk membuat sumur-sumur dangkal itu ada airnya kita bantu untuk 2022 kemarin," katanya.

Di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, ada sekitar 700 hektar tanaman padi yang hampir kekeringan namun sudah dibantu.

Di kecamatan itu, lanjut Marino, ada bulan-bulan tertentu tidak ada air selama 4 hari. Kemudian air masuk itu akibat dorongan air pasang.

https://medan.kompas.com/read/2023/10/06/134618778/cuaca-tak-menentu-cabai-merah-di-deli-serdang-terancam-gagal-panen-raya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke