Salin Artikel

Perjuangan Ibu-ibu di Sumatera Utara agar Suara Anak Penyandang Disabilitas Didengarkan

Di sana, sekitar 420 orang anak dari usia balita hingga remaja yang tumbuh kembangnya dibarengi cerebral palsy, autisme, dan down sindrom.

Namun, sejauh ini peran pemerintah untuk keberlangsungan hidup saja mereka anggap masih jauh dari kata peduli.

RRABK didirikan oleh seorang ibu dari anak disabilitas bernama Erlina Sinaga.

Berawal dari terbentuknya dari paguyuban ibu ibu dari anak disabilitas, delapan tahun silam. Perkumpulan ini mulanya berpindah pindah dari rumah ke rumah.

Berkat rumah singgah itu, kini mampu menampung anak disabilitas dari wilayah Kota Binjai, Kabupaten Batubara, Kota Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Jumlahnya 420 orang anak disabilitas.

“Adanya perkumpulan ini supaya suara kami terdengar oleh pemerintah,” ucap Ketua Yayasan RRABK, Erlina Sinaga ditemui di rumah singgah, Selasa (7/11/2023).

Erlina menuturkan, RRABK merupakan organisasi sosial non-profit yang mengandalkan iuran bulanan anggota sebesar Rp 20.000. Pengurusnya bukan orang profesional, melainkan para orangtua anak disabilitas itu sendiri.

RRABK terkadang juga menerima bantuan dari komunitas yang membuka donasi dan bantuan tidak mengikat dari personal. Bantuan yang diterima berupa alat mobilitas untuk disabilitas, obat-obatan dan sembako.

“Walaupun materi itu penting, sebetulnya dorongan dan semangat itu luar biasa untuk kami ibu ibu. Kami juga butuh anak muda yang mau mengkampanyekan agar kita hidup berdampingan dengan disabilitas,” katanya.

Pada Kamis dalam setiap pekannya, RRABK menjadwalkan kegiatan untuk fisioterapi gratis bagi anak disabilitas.

Pagi sekitar pukul 07.00 WIB anak anak dan orang tua pun ramai mendatangi tempat itu.

“Kegiatan hanya fisioterapi, edukasi, support system setiap Kamis. Dan tiap satu bulan sekali digelar silaturahmi. Di situ datang para orang tua dari daerah lain,” katanya.

Hanya saja karena kondisi pembiayaan, jumlah anak yang harus diterapi setiap sekali seminggu berkurang karena kekurangan jumlah relawan.

“Paling aktif 40 ke 60 orang anak karena kita kekurangan tenaga Terapis. Dulu ada 11 orang volunteer sekarang jadi 2 orang karena tidak ada pembiayaan. Di sini semua relawan, termasuk pengurusnya,” kata Ibu satu anak ini.

Stigma disabilitas

Di tempat yang sama, seorang ibu dari anak disabilitas di RRABK, Etty Purba, mengakui pengetahuan masyarakat terhadap disabilitas masih rendah, sehingga memunculkan stigma hingga penolakan dari keluarga terdekat maupun khalayak umum.

Ia mengatakan ada anak disabilitas yang ditelantarkan karena kedua orang tuanya bercerai. Stigma anak disabilitas masih melekat karena rendahnya pemahaman masyarakat.

“Kadang kalau di angkot, duduk sama, ditanya ‘Anaknya kenapa?’ Kadang kesenggol kakinya, ‘Iss..’ gitu. Jadi ngerasa, kok gitu kalilah ya. Jadi pemahaman orang terhadap anak disabilitas masih minim di sini,” ucapnya.

Suatu kali, Ibu empat anak itu pernah membawa putra sulungnya ke luar rumah. Ia pernah mendengar jika anaknya korban mistis.

“Dulu pun saya kalau membawa anak keluar, rasanya saya besar kepala. Nanti ditanya orang, ‘Anakmu kenapa?’ Nanti dijelaskan, dibilang karena kena mahluk halus  atau diguna-guna orang,” ungkapnya.


Prioritas kesehatan disabilitas

Anak Disabilitas di RRABK, kata Erlina Sinaga, mayoritas mengalami gangguan saraf motorik atau cerebral palsy yang memiliki penyakit penyerta, dan tak mampu secara fisik maupun intelektual.

Kondisi demikian berbeda dengan daksa, disabilitas secara fisik tapi lebih mampu secara intelektual.

“Secara logika berharap anak tumbuh normal itu tidak mungkin karena gangguan motorik. Tapi, sebagai orang tua kita berupaya kebutuhan anak kita terpenuhi dan dan semua orang di sekelilingnya peduli,” ungkapnya.

Kondisi demikian pula harus menanggung beban sekaligus. Antara lain memastikan kesehatan anak sebagai prioritas utama dan memenuhi hak hak anak seperti pendidikan.

“Beberapa anak punya penyakit penyerta. Misal anak cerebral palsy yang mengidap kejang panjang. Kalau kejang tidak disembuhkan dahulu, akan memperburuk kondisi kesehatannya,” katanya.

Di sisi lain, para orang tua di RRABK tergolong tidak mampu secara ekonomi. Untuk kebutuhan medis, fasilitas kesehatan di daerah tidak mampu mengcover, sehingga jika anak sakit dirujuk ke rumah sakit yang berlokasi di ibukota provinsi.

“Jarak juga, ekonomi kita kan enggak sama. Ekonomi keluarga di sini enggak semuanya mampu. Memang BPJS, untuk ongkos siapa menanggung,” sebutnya.

“Ada di sini orangtua kalau anaknya mau terapi, meminjam dulu ke tetangga untuk ongkos,” kisahnya.

Fasilitas tidak mendukung

Sejauh ini regulasi yang dikeluarkan Pemda di Pematang Siantar dan Pemkab Simalungun untuk anak disabilitas belum ada sama sekali.

Menurut Erlina, anak disabilitas yang mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa masih Daksa. Sementara Inklusi biaya pendidikannya cukup mahal.

Pihaknya berharap suatu saat ada relawan yang mampu memberikan dukungan pendidikan kepada anak dengan tumbuh kembangnya mengalami gangguan fisik dan intelektual.

“Secara naluri seorang Ibu, saya ingin anak saya pakai seragam sekolah meski kemampuan intelektual dia tidak bisa disamakan dengan anak yang tumbuh kembangnya baik,” katanya

“Jadi yang katanya pendidikan adalah hak segala bangsa, itu saya tidak dapatkan disini,” imbuhnya.


Selain pendidikan untuk anak disabilitas, kondisi fasilitas umum pun masih jauh dari kata layak.

Misalnya RAM, fasilitas yang diperuntukan untuk disabilitas tidak ditemui di tempat tempat umum di Kota Pematang Siantar maupun Kabupaten Simalungun.

“Misal di pusat perbelanjaan, laluan untuk Tunanetra itu tidak ada. Kemudian bus khusus untuk membawa anak disabilitas di sini tidak ada. Termasuk toilet umum,” katanya.

Menurut Erlina, anak disabilitas sebetulnya punya kesempatan bermain sama halnya dengan anak yang tumbuh kembangnya baik.

Ia mengatakan, ruang terbuka publik untuk disabilitas pun tidak ada sama sekali. Erlina mencontohkan Taman Terapeutik untuk terapi dan edukasi untuk anak disabilitas.

“Anak-anak disabilitas juga perlu bermain. Gimana mau mengajak anak-anak disabilitas sementara sarana taman untuk bermain tidak ada,” keluhnya.

Ia berharap pemerintah memperhatikan hak anak disabilitas, mulai dari kesehatan, kesejahteraannya dan pendidikan.

“Harapannya kita hidup berdampingan. Mereka (penyandang disabilitas) butuh pendampingan, dan kita pun harus bersyukur dengan kondisi kita sekarang ini. Karena tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia,” ucapnya.

Minim bantuan

Di tempat terpisah, Armansyah Nasution selaku Koordinator Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Kota Pematang Siantar mengatakan, anggaran APBD Kota Pematang Siantar secara khusus untuk membantu disabilitas tidak ada.

Bantuan sosial dari Pemkot Pematang Siantar yang diberikan berupa sembako dan pakaian sekaligus kepada lansia, disabilitas dan anak yatim piatu.

“APBD Kota Pematang Siantar untuk disabilitas sebanyak 30 orang. Itu bahan pangan sembako dan baju diberikan empat kali dalam setahun. Penyerahan bantuan ini sekaligus untuk lansia dan anak yatim piatu,” ucapnya.

Di sisi lain, ada bantuan dari Kementerian Sosial (Kemensos RI), yakni bantuan berupa barang untuk usaha bagi disabilitas dan bantuan permakanan untuk disabilitas kategori berat.

“Bantuan permakanan itu makanan yang sudah jadi dimasak oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas) untuk kategori disabilitas berat yang hidup sendiri,” katanya.

Adapun 71 orang disabilitas berat dan 132 orang disabilitas akan mendapat bantuan tersebut pada akhir 2023.

https://medan.kompas.com/read/2023/11/08/073059278/perjuangan-ibu-ibu-di-sumatera-utara-agar-suara-anak-penyandang-disabilitas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke