Salin Artikel

Ketika Harga Kemenyan Ditentukan oleh Tangan Tak Terlihat...

Kendati demikian, komoditas itu pemasarannya masih dikuasai tengkulak dan tangan-tangan tidak terlihat.

Pedagang memiliki kendali kuat atas harga dan distribusi komoditas. Masyarakat adat tak punya pilihan selain menerima.

Potret itu menyeruak di Dusun Sibio-bio, Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.

Salah seorang petani kemenyan yang punya keresahan dengan keadaan itu adalah Luas Partaulian Tambunan. 

Luas mendigitalisasi buku besar milik parpatikan, sebuah lembaga masyarakat adat di Simardangiang yang bertugas mencatat seputar urusan kemenyan.

Salinan catatan yang ditunjukkannya adalah jumlah kemenyan yang dijual di desa berpenduduk 193 kepala keluarga (KK) itu, dari bulan Januari 2023 - Mei 2023 sebanyak 4.250 kilogram dengan nilai ratusan juta rupiah.

"Baru ini yang bisa disalin. Di buku itu catatan harian, pagi sama sore. Banyak, jadinya baru ini. Soalnya kita kan juga ke tombak (hutan) mengambil haminjon (kemenyan)," katanya.

Kepala Desa Simardangiang Tampan Sitompul mengatakan, kemenyan adalah komoditas penting dan bernilai bagi masyarakat sejak 400 tahun yang lalu.

Sejauh pengetahuannya, kemenyan sudah diekspor ke berbagai negara. Namun, tidak ada harga yang pasti pada kemenyan.

Berbeda dengan komoditas lainnya misalnya kopi dan karet, harga kemenyan yang berlaku selama ini ditentukan oleh toke atau pembeli yang datang.

"Harga kemenyan ini misterius. Kemenyan endemik di sini, tapi kenapa tak bisa kita yang nentukan harganya. Kita kan butuh uang, kadang kita merasa rugi dengan harganya," katanya.

Dia membandingkan dengan harga kemenyan di waktu dulu. Harga kemenyan saat itu setara dengan harga emas.

Dia tidak tahu bagaimana harga kemudian turun hingga yang berlaku saat ini. Harga itu, lanjut Tampan, tidak bisa kembali dinaikkan sebagaimana dulu awalnya.

"Dulu kita pergi ke hutan ambil kemenyan, bawa pulang kita seperti bawa emas, karena harganya setara dengan emas. Harga sekarang adalah harga yang rendah," katanya.

Dia memetakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang sedang diakses masyarakat, tentang pola pemanfaatannya kemudian nilai ekonominya.

Dari penelitian itu dia menemukan kemenyan menjadi komoditas prioritas di Desa Simardangiang, Parngordotan, dan Pantis.

Perekonomian masyarakat bergantung di atas 50 persen ekonominya dari hasil kemenyan.

Sementara di Dusun Hopong mulai meninggalkan kemenyan dengan mengkonversinya menjadi pisang.

Masyarakat memiliki akses terhadap tanah walaupun berstatus hutan. Hal tersebut belum terlalu terjamin karena belum ada perizinan.

Selama ini masyarakat menganggap bahwa itu wilayah adat mereka.

Menurutnya, wilayah kelola mereka sebetulnya ada potensi konflik kepentingan masyarakat dengan hutan lindung. Masyarakat dapat mengambil HHBK.

Untuk mendapatkan satu kilogram kemenyan, mereka harus membersihkan, mengguris, membuat lubang keluarnya getah kemenyan, memanjat sekitar 10 pohon per hari.

Hasilnya baru bisa dipanen enam bulan kemudian.

"Nah itu menjadi tantangan tersendiri. Kemudian tidak adanya harapan petani terhadap harga. Petani merasa bahwa itu belum menguntungkan tapi tidak ada pilihan juga," katanya.

Kemenyan, lanjut Hendri, ada tiga grade. Paling tinggi mata, kemudian tahir, dan paling rendah rasaran.

Harga tertinggi Rp 300.000 per kilogram dan paling rendah Rp 60.000 sampai Rp 80.000 per kilogram.

Dengan tingkat kesulitan memanen, semestinya harga jual kemenyan bisa lebih tinggi.

Transparansi harga merupakan faktor penting karena selama ini petani hanya bermain di level bahan baku mentah.

"Ada persoalan tidak transparannya harga kemenyan. Petani itu tidak tahu harga di nasional itu berapa. Mereka hanya tahu itu dari pengepul lokal," katanya.

Kemudian masyarakat diberdayakan menjadi pengumpul, membangun jaringan. Misalnya bersama pendamping dengan melacak berapa kebutuhan kemenyan untuk gereja Katholik.

"Itu kan jaringan kita juga. Walaupun bisa Jadi sentralistik. Harus dipastikan misalnya ya sudah cari di sana link-nya," katanya.

Selain itu, petani juga peningkatan kapasitas dalam hal standar nasional Indonesia (SNI) kemenyan.

Masyarakat sudah mengerti tentang grade kemenyan, tapi dalam hal kemampuan negosiasi harga harus ditingkatkan, sehingga tidak bergantung kepada pengumpul karena memiliki posisi tawar dengan pengetahuan.

Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan mengatakan, sudah mendampingi masyarakat di Desa Simardangiang, Pantis, Pangurdotan dan Hopong sejak 2020.

Pendampingan yang dilakukan adalah memperkuat perekonomian masyarakat dan sekaligus melindungi hutan.

Dikatakannya, berbicara tentang kemenyan dan masyarakat, ada dua hal penting yakni mengenai harga dan wilayah kelolanya.

Pertama mengenai harga. Dikatakan Dana, berdasarkan pengakuan masyarakat, pada 1960 sampai 1970-an, harga kemenyan setara dengan harga emas.

Dulunya sepulang mereka dari panen kemenyan, membawa sekaleng atau satu kilogram kemenyan, harganya sama mahalnya dengan emas.

Bahkan dari dua pohon kemenyan saja bisa membiayai sekolah anaknya ke tingkat tinggi.

"Kemudian muncul kartel mengatur sedemikian rupa sehingga harga itu jatuh di level paling rendah. Ada banyak tingkatan untuk sampai ke mereka. Nah, masyarakat selalu dapat harga paling rendah. Walaupun di Simardangiang kondisinya lebih baik karena adanya parpatikan, tapi tetap saja harganya tidak bisa seperti dulu karena ada ada harga eceran terendah yang tidak kelihatan, tidak tersurat yang dikontrol oleh cukong," katanya.

Dikatakannya, tidak adanya kendali harga secara transparan pada komoditas kemenyan bisa jadi karena dianggap bukan komoditi yang ada di seluruh Indonesia sehingga tidak menjadi perhatian pemerintah pusat dan provinsi.

"Dan terkesan pemerintah tak bisa berbuat banyak. Kalau diperiksa ekspor Indonesia, tidak ditemukam berapa jumlah ekspor kemenyan karena bukan komoditi khusus, kemenyan disebut dengan dianggap rempah," katanya.


Rantai tengkulak

Dana menyebutkan, pemerintah memiliki peran yang sangat besar.

Misalnya, melalui Badan Usaha Milik Daerah dengan membangun komunikasi dengan buyer di luar negeri, melakukan promosi ke luar negeri atau mengundang buyer-buyer potensial.

Bisa jadi untuk mendapatkan buyer itu sulit karena selama ini tidak terlacak.

Apalagi, sebenarnya untuk membuat produk selepas panen kemenyan bukanlah tidak mungkin.

"Pemerintah punya andil besar, terutama pemerintah daerah. Jangan dibiarkan begini," katanya.

Hutan negara

Hal lain yang jadi sorotan adalah masyarakat tidak nyaman karena timbak (hutan produksi) selama turun temurun masuk menjadi hutan negara atau hutan lindung.

Dengan status itu, sewaktu-waktu masuk investasi atau negara membutuhkan lokasi itu, gampang saja untuk mengusir masyarakat yang sudah bergenerasi mengelola kawasan itu dengan mata pencaharian kemenyan.

"Ini menjadi problem. Makanya kita sudah berupaya bagaimana masyarakat adat mendapatkan pengakuan. Saat ini kita menunggu SK Hutan Adat. Kemarin sudah dilakukan veritikasi teknis (vertek). Harapannya dengan adanya SK Hutan Adat masyarakat dapat mengelola hutannya dengan mekanisme kearifan lokal yang turun temurun tanpa harus khawatir sewaktu-waktu diambil untuk investasi atau keperluan lainnya oleh pemerintah atau korporasi. Karena memang masyarakat hidup dari situ," kata Dana.

https://medan.kompas.com/read/2024/02/09/195151378/ketika-harga-kemenyan-ditentukan-oleh-tangan-tak-terlihat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke