“Ini kain batik, kami sedang membuat motifnya. Nama motifnya tanduk horbo atau kerbau,” ujar seorang perempuan bernama Santi (36) ketika menyambut awak media yang baru tiba di Kampung Pasir, Rabu (5/6/2024).
Santi merupakan pelopor dari aktivitas membatik di Kampung Pasir, Kelurahan Aek Pining.
Ia mengaku, mulai mengajak ibu-ibu yang tinggal di kanan dan kiri rumahnya untuk membatik sejak 2016.
Tujuannya sederhana, ia ingin ibu-ibu yang ada di kampungnya menjadi produktif dan bisa membantu suami meningkatkan perekonomian .
Jatuh bangun kembangkan batik
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat di Sumatera Utara lebih banyak menggunakan kain ulos daripada kain batik dalam berbagai acara.
Namun, fakta itu tak menyurutkan semangat Santi untuk membatik dan memasarkannya.
Menurutnya, hal ini justru bisa menjadi nilai tambah bagi Kabupaten Tapanuli Selatan karena ada produk khas lain yang bisa dipamerkan.
Kata Santi, saat awal berdiri, setidaknya ada 10 tetangganya yang tertarik untuk mengembangkan batik khas Tapanuli Selatan.
Waktu itu, ia mulai membatik dengan membeli segala kebutuhan dari Pulau Jawa.
Sebab, ia kesulitan mencari alat dan warna untuk membatik di sekitar Tapanuli Selatan.
“Waktu itu kita sampai haru beli beberapa barang dari Pulau Jawa, karena susah nyarinya di sini. Contohnya yang kita beli itu canting, alat untuk batik tulis,” tutur dia.
Semangat yang ditunjukkan Santi dan teman-temannya kemudian berbuah manis. Kegiatan membatiknya mulai dilirik pemerintah daerah dan sejumlah stakeholder.
Ia kemudian mendirikan kelompok usaha bersama (KUB) pada 2018 supaya kegiatannya lebih terstruktur.
“Setelah dua tahun memulai kegiatan ini, kami akhirnya mendapat bantuan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Bank Indonesia. Kami diberi pelatihan untuk mengembangkan usaha kami, terutama dalam hal memasarkan produk,” terang dia.
Ada 13 motif batik yang sudah didaftarkan HAKI
Selama beberapa tahun berkecimpung di dunia batik, setidaknya sudah ada 13 motif yang dibuat oleh Santi dan teman-temannya.
Mayoritas motif terinspirasi dari cerita rakyat, tumbuhan, hewan, dan cerita dari raja-raja Batak.
“Sudah ada puluhan motif batik yang kami buat, tetapi baru 13 motif yang kami daftarkan sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI),” tutur dia.
Santi mengungkapkan, beberapa motif tak bisa didaftarkan sebagai HAKI karena terkendali berbagai hal.
Salah satunya seperti motif tanduk horbo. Motif ini tak bisa didaftarkan sebagai HAKI karena motifnya terpasang di rumah-rumah keturunan raja Batak.
“Beberapa motif memang terinspirasi dari logo atau motif yang sudah ada. Jadi tidak kami daftarkan ke HAKI,” ungkap dia.
PT Agincourt Resources (PTAR), perusahaan yang mengelola Tambang Emas Martabe, tertarik untuk membantu mengembangkan kerajinan batik yang digagas Santi dan teman-temannya.
Terlebih, Kampung Pasir jaraknya tak lebih dari satu kilometer dari Tambang Emas Martabe.
“Kami PT Agincourt Resources memiliki program pemberdayaan masyarakat (PPM). Karena menurut kami kegiatan ibu-ibu ini sangat bagus dan inspiratif, jadi kami bina mulai 2019,” ujar Local Economic Development Community Development PTAR Dominico Savio Sandi.
Sandi mengungkapkan, apa yang dilakukan oleh ibu-ibu di Kampung Pasir terus berkembang setiap tahunnya.
Omzet penjualan batik juga diklaim terus meningkat semenjak pandemi Covid-19 mereda.
“Dari 2022 ke 2023 itu omzetnya naik hingga 35 persen. Kira-kira diatas Rp 200.000,” tutur Sandi.
Dipesan jadi pakaian Pemkab Tapanuli Selatan
Santi menerangkan, hasil membatiknya kini sudah dilirik oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Ia menyebut, kain batiknya acap kali dipesan karena hendak digunakan sebagai pakaian dinas.
Ia kemudian membanderol kain-kain tersebut dengan harga bervariasi, tergantung tingkat kesulitan dan lama pengerjaan.
Untuk batik cap, ia mematok harga mulai dari Rp 185.000 hingga Rp 250.000 per lembar.
Sementara, untuk batik tulis, harga paling murah berada di angka Rp 600.000.
“Jadi harga yang kami patok cukup bervariatif. Hanya, kalau batik tulis sistemnya pre-order kebanyakan. Jadi kami bisa bikin sesuai pesanan,” tutur dia.
Di lain sisi, ia bersyukur karena PTAR mau mendampingi KUB yang didirikannya.
Ia tak menampik ada andil PTAR dalam mengjembqngkan KUB yang dikelolanya.
“Alhamdulillah kalau sekarang bisnisnya sudah mulai lancar, terutama semenjak dibina sama PTAR. Kami jadi lebih baik dari sebelumnya,” ungkap Santi.
Tak hanya soal pemasaran, ia juga lebih hati-hati terkait pembuangan limbah usai membatik. Ia mengaku, tak pernah memikirkan soal itu sebelumnya. Ia memilih untuk membuang air limbah ke saluran air tanpa memprosesnya lebih dulu.
“Kalau dulu, air limbah bekas membatik langsung dibuang. Tapi, semenjak dibina PTAR, kami diajarkan bahwa air limbah harus diolah dulu. Jadi sekarang kami benar-benar membuang air yang sudah tak mengandung zat berbahaya ke sungai,” imbuh Santi.
https://medan.kompas.com/read/2024/06/10/151341478/tak-hanya-ulos-tapanuli-selatan-juga-punya-13-motif-batik-kreasi-ibu-ibu