Salin Artikel

Sri Sultan Saragih, "Menggali" Kesenian Simalungun yang Nyaris Punah

Kala itu, ingatannya seakan membawanya ke masa kecil ketika menyaksikan Gonrang Simalungun yang dipentaskan oleh para seniman masa lalu.

Tradisi hingga karya seni para seniman Simalungun tempo dulu kini nyaris punah dan ditinggalkan. Beranjak dari itu, Sultan memutuskan untuk menggali dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

“Mulai berkesenian sejak ikut teater di kampus. Tapi sebelum itu sudah terbiasa dengan kesenian, karena ayah saya dulu sempat membuka sanggar, jadi ingatan itu kembali lagi,” kata Sultan kepada Kompas.com, Senin (24/6/2024).

Sekembalinya ke Kota Pematangsiantar, alumni Fakultas Geografi UGM ini mulai menggali dan mencatatkan sejumlah situs peninggalan budaya Simalungun dengan melakukan perjalanan secara mandiri.

“Ada situs seperti patung Pangulubalang, Batu Galang, Goa goa dan relief relief Simalungun,” kata dia yang ditemui di Sanggar Rayantara Jalan Kesatria, Kelurahan Siopat Suhu, Siantar Timur, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara.

Untuk menyangupinya, dia mengajak seniman Simalungun angkatan lama yang dikenalnya selama perjalanan mendokumentasikan situs.

Dia bertemu Raminah Garingging yang merupakan seniman tari, Rosul Damanik pemain alat musik tiup (sarune), dan Arisden Purba Sidamanik alat musik dawai (arbab).

“Pada saat itu saya yang menari. Karena musik itu karya seni Simalungun yang sudah hampir punah,” ucap dia.

Pertemuan Sultan dan ketiga seniman tua itu merupakan titik tolak berdirinya sebuah sanggar bernama Sanggar Rayantara.

Awal mendirikan sanggar ini menjadi tantangan berat di tengah cemoohan orang, dan minimnya dukungan finansial.

“Pertama menjalani ada perasaan saling tolak menolak. Karena berkesenian ini kan tidak ada duitnya. Lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan, nggak sesuai lah,” kata dia.

Dia mengakui, banyak mendapat cibiran yang menyebut kreativitasnya merusak seni Simalungun. Di sisi lain, dia harus memikirkan biaya kostum untuk pementasan dan sekretariat sanggar.

“Ketika kita membuat pertunjukan yang berbeda, terkadang kita mendapat ‘judge’. ‘Itu (pementasan) bukan Simalungun. Itu merusak seni Simalungun’. Banyak yang melemahkan. Kalau pun salah, kan itu biasa untuk mendapat yang terbaik,” kata dia lagi.

Menurut dia, hal itu dikarenakan seniman Simalungun ada yang belum bersedia membuka diri berkolaborasi dengan seniman rumpun Batak lain misalnya Toba, Karo, Pakpak, maupun Dairi.

“Jadi kalau nggak kuat mental, kita bisa surut. Banyak yang nggak terima dengan apa yang kita kerjakan. Kita dicecar juga dari medsos,” ucap dia.

Sri Sultan Saragih bersama Raminah Garingging mulai melatih para generasi muda untuk berkesenian. Mereka juga mendatangkan seniman musik Simalungun dari daerah pedalaman.

Saat ini ada 12 penari yang sudah terampil, tiga yang terampil dalam musik dan enam orang lagi sedang berlatih.

Sanggar Rayantara juga terbuka bagi siapa pun yang ingin berkesenian, khusus jam belajar pada Sabtu dan Minggu.

“Kalau dapat income dari aktivitas Sanggar ini belum sama sekali. Kalau ada orderan menari kadang sekali sebulan. Itu pun biaya untuk uang saku anak anak."

"Kadang buat proposal untuk menutup sebagian kebutuhan sanggar,” ucapnya.

Selain mendapat orderan, Sanggar Rayantara ikut pertunjukan seni tingkat nasional semisal Festival Keraton dan pertunjukan seni di tingkat regional.

Baru-baru ini, Sri Sultan dan Sanggar Rayantara mementaskan Tortor Nanggurdaha dan Raja Bongkala karya Raminah Garingging pada seremonial Apeksi di Pekanbaru, Riau, Jumat 4 Mei 2024.

Sanggar Rayantara, kata Sultan, menolak untuk ‘ngamen’ agar mendapat uang. Itu merupakan prinsip yang dipegang teguh sampai saat ini.

“Kalau kesan selama berkesian ini, chemistry panggung itu adalah kepuasaan batin. Bisa3-5 hari kita nggak lupa dengan suasana panggung itu. Perasaan kita berpendar pendar,” ucap Sultan.

Melalui jejaring dengan para seniman tempo dulu, dia mulai memperkenalkan satu per satu karya seni itu kepada generasi muda. Salah satunya adalah memperkenalkan Gonrang Sidua dua.

Alat musik gendang ini telah tergantikan dengan Gonrang sipitu pitu maupun keyboard, sehingga nyaris tidak pernah ditampilkan pada acara adat istiadat Simalungun.

Untuk itu, kata Sultan, Sanggar Rayantara mendatangkan Jelasmen Saragih (62) seorang pelestari Huda Huda dari Durian Baggal, Simalungun, untuk melatih anak anak di Sanggar.

Tak hanya Gonrang Sidua dua, ada alat musik lain yakni Sarune yang merupakan alat tiup dan arbab -alat musik berdawai. Kedua alat musik ini tergolong jarang digunakan, akibat orang yang mampu memainkannya sedikit sekali.

“Seperti arbab. Ini alat musik gesek dengan dua senar. Dulu kita membuat pertunjukan nggak sempat merekam karena kita nggak punya duit. Sekarang orang yang memainkannya sudah meninggal dunia,” ujar Sri Sultan.

Selain itu, jenis tarian kesenian masa lampau yaitu Tortor Tukkot Malehat tergolong punah lantaran tidak semua mampu memainkan karena terhubung dengan ritual leluhur.

“Toping toping Huda huda sudah punah, tradisi adat kematian yang sudah tidak diwarisi lagi masa kini,” imbuhnya.

Dikatakan Sri Sultan, upaya penyelamatan karya seni maupun tradisi masa lalu itu sudah terbangun lewat jejaring dengan para seniman asli dari daerah.

Namun terkadang kendala dana, sebab mendatangkan para seniman itu perlu biaya.

Pernah suatu kali ia bertemu dengan penenun duduk khusus corak Bulang Sulappei. Penenun itu bersedia melatih, namun Sultan tak berani menyanggupinya.

“Bertenun sambil lesehan itu tinggal satu orang yang mengerjakan. Ada satu atau dua orang lagi yang bisa tapi sudah nggak mau lagi karena lebih memilih berladang,” katanya.

“Dia mau mengajarkan cara bertenun di Sanggar ini, tapi aku mikir bagaimana nanti uang makannya, tempat tinggalnya dan tidak mungkin tak ada uang sakunya,” sambungnya.

Berkaca dari situasi demikian, Sri Sultan Saragih berharap kepada Pemerintah agar serius untuk menyelamatkan kesenian Simalungun secara berkelanjutan.

Hal itu bisa dilakukan dengan memberdayakan seniman seniman daerah yang hampir terlupakan. Apalagi, Simalungun merupakan suku asli di Kota Pematangsiantar.

“Pemerintah harus melihat mana yang prioritas untuk bermitra program, untuk menyelamatkan kebudayaan secara berkelanjutan,” kata dia.

Belum lama ini, Dinas Pariwisata Kota Pematangsiantar mengadakan soft opening Festival Seni Budaya Temu Tengah Kota diadakan di depan Kantor Dinas Arsip dan Perpustakaan, Jalan Merdeka, Pematangsiantar, Sabtu (22/6/2024).

Kepala Dinas Pariwisata Kota Pematangsiantar M Hamam Soleh dalam keterangan tertulisnya mengatakan, festival ini terinspirasi dari beberapa kota yang sudah mengadakan wahana bagi masyarakat dan seniman untuk berkreasi.

Dia melanjutkan, festival ini merupakan langkah awal dan akan menjadi gelaran setiap pekannya.

Hamam juga mengutarakan, kegiatan ini memiliki tiga sasaran. Pertama, menjadi wadah bagi komunitas generasi muda dan seniman, baik tarian, penyanyi, band, dan puisi.

Kedua, dengan kegiatan ini para pedagang diharapkan mampu berkolaborasi maupun mengembangkan usahanya.

"Terakhir, sasaran kita agar masyarakat punya tempat untuk hiburan yang murah meriah. Semoga ini bisa kami melaksanakan dengan sebaik-baiknya," sebut Hamam.

Dia juga berharap tempat itu bisa menjadi milik bersama. Sehingga ketika pengunjung datang ke Kota Pematangsiantar, dapat menikmati kreativitas para pelaku seni dari Pematangsiantar.

https://medan.kompas.com/read/2024/06/25/051850278/sri-sultan-saragih-menggali-kesenian-simalungun-yang-nyaris-punah

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com