Media sosial menjadi salah satu buktinya. Ia bisa menjadi pisau bermata dua: mengganggu, namun sekaligus memunculkan kreativitas baru.
Hal itu disampaikan Emte, penulis beberapa zine dan novel grafis, dalam diskusi panel bertajuk “Satu Jiwa, Seribu Rasa: Sendiri Tak Selalu Sepi” di Pesta Literasi Indonesia 2025, di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (27/9/2025).
Emte menuturkan bahwa kesepian dan kesendirian adalah dua hal yang berbeda.
Perbedaan ini ia bahas dalam bukunya Life as We Know It yang lahir dari proses panjang berdiskusi dengan banyak orang.
“Kesendirian itu, saya memilih menonton bioskop dan traveling sendiri, tidak apa-apa karena dilakukan secara sadar. Sementara kesepian adalah sebuah keadaan tidak terkoneksi dengan sekeliling kita. Misalnya, berkumpul bersama tetapi pikiran ke mana-mana, terutama memainkan gadget,” kata Emte.
Ia mengaku sempat khawatir dihakimi karena usia yang tak lagi muda tetapi masih menggambar, menulis, dan berbicara soal kesendirian.
“Tetapi ya, akhirnya, overthinking saya sampai 90 persen, 10 persennya diri sendiri. Namun yang ingin saya sampaikan adalah harus jujur pada diri sendiri, apa adanya, ada momen tidak usah peduli kata orang. Itu sih yang saya lakukan. Kejujuran itu menjadi kunci,” sambung penulis buku Nyampah itu.
Selain Emte, hadir pula Titan Sadewo, penulis buku Simulasi Sakaratul Maut, dan Ika Natassa, penulis novel Satine, dengan moderator Eka Dalanta, Duta Baca Kabupaten Karo periode 2023-2027.
Medan: Ramai, Tapi Bisa Sepi
Litbang Kompas mencatat Medan sebagai salah satu kota dengan tingkat kerentanan kesepian yang tinggi.
Titan menyebut Medan sebagai kota paradoks. Di tengah banyaknya tawuran, orang-orang menerobos dan tidak berhenti di lampu merah, serta cemas saat berada di belakang angkutan kota (angkot).
Tetapi pada titik tertentu, walaupun Medan memiliki keramaian, belum tentu orang-orangnya juga merasa ramai kepada dirinya sendiri.
“Bagi saya itu sesuatu yang sangat menyakitkan sekali. Medan itu saya lihat bukan cuma kota tapi kampung kenangan. Di titik tertentu ya, mungkin saya kesepian. Tapi saya menulis puisi untuk mengobati penyakit yang bernama kesepian. Menulis puisi itu bagi saya bukan cuma menulis keras, bukan cuma membaca, tapi kita tahu apa di dalam hidup kita,” ucap Titan.
Menurut Titan, kesepian adalah rasa tidak terkoneksi dengan orang lain.
Bagi dia, komunitas menjadi salah satu cara menghilangkan kesepian.
Media Sosial dan Eksistensi
Sementara, Ika Natassa menyinggung soal media sosial.
Menurutnya, banyak orang menggunakan media sosial bukan hanya untuk berbagi, tetapi juga untuk “menipu diri sendiri” dengan menampilkan seolah-olah hidupnya selalu baik-baik saja, termasuk urusan keluarga.
“Tidak punya teman bertanya, atau dia butuh pengakuan orang. Dia butuh eksis, nggak salah sih. Yang salah itu adalah ketika kita mengutamakan eksistensi kita pada pengakuan orang lain daripada diri sendiri. Sosmed itu is good,” ucap Ika.
Ika sendiri sampai kini tetap aktif di media sosial. Alasannya, dari Twitter (kini X), ia berhasil melahirkan tiga karya buku. Baginya, cara terbaik mengatasi kesepian adalah berkarya.
“Sendiri itu bukan nista. Sepi itu adalah sesuatu yang manusiawi. Tapi jangan merasa bahwa hidup bisa sendiri, tidak. Hidup kita itu punya keluarga, teman, tetangga. Merasa nyaman dengan kesendirian itu oke, tapi ingatkan kita tidak bisa hidup tanpa orang lain, karena kita adalah makhluk sosial,” tutur Ika.
Selain diskusi panel, Pesta Literasi Indonesia 2025 di Medan juga dimeriahkan penampilan musik Elisa Nauli dan lokakarya cat air oleh Emte.
Acara ini semakin semarak dengan Semesta Buku, bazar yang menawarkan beragam bacaan mulai dari novel, nonfiksi, hingga buku ilustrasi, dengan diskon hingga 70 persen dan harga mulai Rp 5.000.
https://medan.kompas.com/read/2025/09/27/192441978/rahasia-para-penulis-menaklukkan-sunyi-yang-menyesakkan