Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Buruh Perkebunan Kelapa Sawit Masih Jauh dari Sejahtera

Kompas.com - 31/07/2023, 18:57 WIB
Dewantoro,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Siang begitu terik di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Selasa (26/7/2023).

Ardi (28) tampak membeli es teh manis di sebuah kedai dan duduk santai setelah pulang kerja.

Baca juga: Nasib Buruh Petik Teh di Malang, Upah Rp 1.000 Per Kg sejak 13 Tahun Silam

 

Hari itu dari pagi hingga siang, dia bersama dua rekan dan seorang mandor, menimbun jalan kebun yang longsor. Ardi tidak memanen sawit seperti biasa karena tak ada alat.

Baca juga: Jerit Buruh Perkebunan Sawit Bengkulu, Bekerja Tanpa Kontrak Puluhan Tahun

Ardi merupakan karyawan tetap di perusahaan kelapa sawit di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut.

Tugasnya sebagai pemanen, tapi sudah tiga pekan ini beralih menjadi buruh harian karena tak ada gagang fiber berukuran 1 meter untuk menyambung galah.

Tanpa fiber itu, Ardi tidak bisa memanen buah sawit yang tingginya di atas 20 meter.

"Galah itu panjangnya 8 meter. Untuk panen kita butuh dua galah yang disambung pake fiber itu. Kalau enggak ada fibernya, gimana mau panen, orang pokoknya tinggi kali," katanya ketika diwawancarai di rumahnya.

Ardi kemudian menceritakan awal mula bekerja sebagai pemanen kelapa sawit di perusahaan yang usianya sudah seratusan tahun itu.

Di asal kampungnya yang berdekatan dengan Kecamatan Bahorok, keluarga Ardi merupakan petani sawah.

Namun, mereka sudah sering memanen sawit milik warga lainnya. Bedanya, tinggi kelapa sawit di bawah 10 meter.

Tahun 2018, Ardi mengetahui ada penerimaan tenaga kerja untuk memanen sawit. Dia mengajukan lamaran dan dipanggil untuk bekerja.

Ardi tidak langsung menjadi pemanen, tetapi pruner yang membersihkan pelepah dan kebun selama 3-4 bulan. Upah dihitung borongan Rp 1.700 per pokok (batang).

Setelah itu, Ardi mendapat surat dari perusahaan yang menyatakan dirinya diangkat menjadi pemanen dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) selama 2-3 bulan.

"Waktu itu sepulang kerja disuruh ke kantor divisi, dikasih surat pengangkatan, 'Selamat udah naik jabatan diterima karyawan tetap'," katanya.

Saat itu Ardi masih lajang. Dia menikah di bulan Juli 2022 dan kini memiliki bayi berusia empat bulan.

Ardi mengaku tak tahu sampai kapan akan bekerja di kebun kelapa sawit ini karena bagaimana pun yang diinginkannya sejak dulu adalah mendapat pekerjaan tetap.

Tidak tertutup kemungkinan untuk Ardi pindah jika ada perusahaan yang bisa memberikan gaji lebih tinggi.

"Kita butuh kerjaan, intinya gaji tambahlah. Premi panen tambah, basic borong atau target panen turun," katanya.

Dia menggambarkan, hari pertama kerja seperti habis berkelahi. Hari kedua pasrah berapa pun dapatnya. Selanjutnya mulai terbiasa.

Jika pekerja lain selesai bekerja pukul 14.00 WIB, Ardi pukul 17.00 WIB baru selesai.

"Ini pokok kelapa sawit setinggi 20 meter. Untuk mengangkat galahnya saja susah, berat. Dua batang galah disambung fiber, ditambah egreknya, berapa kg itu. Belum lagi di atas goyang, ngayun galahnya tambah berat. Kena pokoknya tinggi karena yang paling muda itu tahun tanam 1996, tertua 1985. Saya lahir 1994," katanya.

Saat itu dia dilarang untuk membawa keluarga atau yang disebutnya "family gang".

Namun, belakangan saat bekerja, Ardi dibantu ayah dan ibunya untuk membantu mengutip brondolan sekaligus mengambil pelepah untuk dimanfaatkan daun dan lidinya.

Brondolan harus diambil karena jika ketahuan ada brondolan yang belum diambil, ada denda yang harus dibayar.

"Susahnya kan kalau pas jatuh terus bayar brondolannya. Udah capek kali ngambil, ditambah ngutip satu-satu, berlipat-lipat lah," katanya.

Gaji yang diterima sebagai karyawan tetap adalah Rp 121.000 per hari. Ardi bekerja 20 hari dalam satu bulan.

Ardi juga mendapat premi atau tambahan setelah target tercapai. Hitungannya Rp 400/janjang.

 

Setiap harinya Ardi harus bekerja mencari buah kelapa sawit sesuai basic borong sebanyak 40-50 janjang atau setara 26 kg.

Jika dalam tiga hari berturut-turut tidak mencapai target, perusahaan akan memberikan surat peringatan. 

"Target atau basic borong itu kan enggak manusiawi. Makanya kita maunya turun. Sudah minta ke manajemen, tapi katanya sedang diusahakan," katanya.

Ditemui di desa dan hari yang sama, sang mandor bernama Junaidi mengatakan, dia mempunyai anggota mencapai 20 orang. Tiap orang mempunyai tanggung jawab tiga hektar.

Junaidi mengatakan, masalah buruh yang dia ketahui, di antaranya alat kerja yang terbatas, upah premi yang tidak layak, dan basic borong yang terlalu tinggi.

"Upah premi itu tidak layak, di bawah standar. Orang ini kan Rp 121.000 per hari. Upah premi per janjangnya enggak sesuai. Kalau udah basic borong, 40 janjang terus dia cari lagi dapat 40 artinya kan 80 janjang. Ternyata upahnya dihitung Rp 400, dikalikan 40 janjang cuma Rp 16.000," katanya.

Seorang buruh harian lepas bernama Iwan mengaku sudah bekerja selama tiga tahun.

Sebagaimana Ardi, dia pun bekerja selama 20 hari dalam satu bulan.

Bersama 15 rekannya, Iwan bekerja di pembibitan dari pukul 06.30 WIB hingga pukul 14.30 WIB.

Menyemprot tanaman adalah bagian dari pekerjaannya. Dia difasilitasi alat kerja seperti masker, sarung tangan, celemek, dan sepatu boot.

Sebagai buruh harian lepas, dia tidak mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan BPJS Kesehatan.

Setiap gajian di tanggal 15, ada pemotongan antara Rp 45.000-Rp 50.000 untuk jaminan hari tua (JHT). Namun, dia tidak memegang kartu JHT itu.

Selama bekerja, Iwan mendapatkan upah Rp 110.000 per hari. Jumlah itu sesuai dengan yang tertera dalam kontrak yang ditandatanganinya.

Iwan menerima tunjangan hari raya yang jumlahnya hampir setara gajinya.

"Di luar itu setiap tanda tangan kontrak baru kita dikasih Rp 2 juta untuk kompensasi istilahnya. Tapi yang terakhir ini enggak dapat, katanya ada perubahan apa gitu lah," katanya.

Kesejahteraan buruh

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo) Lorent Aritonang mengatakan, Serbundo memiliki anggota di perusahaan kelapa sawit di Deli Serdang, Labuhanbatu, Sumatera Utara, dan sembilan perusahaan di Sumatera Selatan, serta dua perusahaan di Kalimantan Timur.

Menurutnya, persoalan yang dihadapi buruh hampir sama, yaitu masalah upah atau pesangon.

Dia mencontohkan, di Sumatera Selatan ada 500-an buruh harian lepas yang di-PHK dan belum mendapatkan uang pesangon.

Sebrbundo sudah melakukan upaya mediasi dengan dinas tenaga kerja setempat maupun di pengadilan hubungan industrial agar perusahaan bertanggung jawab memberikan pesangon.

Di Kalimantan Timur, Serbundo menggugat perusahaan karena mem-PHK buruh yang sudah bekerja lebih dari lima tahun, tetapi tidak memberikan hak pesangonnya.

"Kenapa tidak diberikan persamaan karena dia statusnya buruh harian lepas. Padahal pengadilan hubungan industrial di Samarinda sudah memutuskan bahwa pihak perusahaan wajib memberikan hak pesangonnya. Namun, mereka tidak melaksanakan keputusan akhirnya mengajukan memori kasasi," katanya.

Lorent mengatakan, melihat persoalan yang dialami buruh perkebunan kelapa sawit, pihaknya berharap perusahaan mau melakukan perbaikan terhadap kondisi kerja dan juga buruh.

Ini karena sudah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang sistem kerja dan pengupahan.

Pihak perusahaan, lanjut Lorent, masih melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak buruh.

"Perusahaan perkebunan kelapa sawit ini bukan jenis pekerjaan yang sifatnya sementara atau dalam uji coba. Kita tahu perkebunan kelapa sawit itu adalah perusahaan yang sifat dan jenis pekerjaannya itu terus-menerus, tetapi kenapa ada status kerja yang berbeda antara buruh ada satu bagian pekerjaan yang sama," katanya.

Menjadi kepentingan Serbundo untuk memberikan perlindungan kepada buruh-buruh dengan membangun serikat buruh supaya terpenuhi hak normatifnya.

Sekaligus memberikan dan penguatan terhadap buruh agar melakukan dan membentuk serikat dan juga memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.

"Itu sebenarnya dasar pemikiran kami untuk melakukan upaya membentuk serikat buruh di perusahaan ini," katanya.

Dalam mengadvokasi buruh yang belum mendapatkan hak-haknya, Serbundo menemukan minimnya alat bukti hubungan kerja dan status kerja buruh di perusahaan.

Beberapa buruh berstatus buruh harian lepas dan tidak mendapatkan salinan perjanjian kerjanya.

Ada perusahaan juga tidak memberikan slip gaji kepada buruh yang dipekerjakannya.

Selain itu, ada beberapa temuan yang menunjukkan buruh bekerja tanpa alat pelindung diri, alat kerja tidak lengkap dan upah di bawah upah minimum kabupaten karena mereka dipekerjakan 20 hari dalam satu bulan.

"Selain itu, kesulitan kita adalah mungkin karakter dari manajemen juga tidak bisa melakukan upaya perubahan. Ini menjadi tantangan tersendiri karena memang sistem kerja yang dibuat oleh pihak perusahaan itu umumnya memberikan tekanan yang tinggi terhadap buruhnya sehingga buruh kesulitan atau takut memperjuangkan haknya," katanya.

Dikatakannya, sebagai penyumbang devisa ke dua, seharusnya tidak ada lagi persoalan berkaitan dengan hak-hak buruh perkebunan kelapa sawit.

Namun, faktanya sampai saat ini pihaknya harus terus melakukan advokasi dan pendidikan terhadap buruh perkebunan kelapa sawit dan selalu menyuarakan agar pemerintah turut serta memperhatikan kesejahteraan buruh.

Lorent menilai, seharusnya pemerintah membuat undang-undang khusus perlindungan buruh di perkebunan kelapa sawit.

"Karena Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Cipta Kerja tidak mengakomodir sistem kerja dan pengupahan di perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit ini spesialis karena undang-undang tentang undang-undang itu lebih identik untuk buruh di manufaktur atau industri yang menerapkan sistem kerja mengandalkan bantuan mesin. Sementara di perkebunan kelapa sawit itu menggunakan fisik dominan yang membutuhkan kalori lebih banyak," katanya.

Menurutnya, sudah menjadi kewajiban perusahaan kelapa sawit untuk memberi perlindungan dan upah yang layak serta menjamin kesejahteraan buruh.

Tidak hanya sebatas upah yang berdasarkan ketentuan minimum saja, tetapi memperhatikan juga kesejahteraan terhadap keluarga buruh.

"Di mana kita tahu bahwa perkebunan kelapa sawit ini kan berada di jauh daripada pusat pemerintahan, terisolir, sehingga pemerintahan dan perusahaan seharusnya menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung untuk mengakses kesehatan dan pendidikan," katanya.

Upah layak bagi buruh

Lorent menjelaskan, dalam hal upah, beberapa perusahaan kelapa sawit menganggap sudah sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah atau keputusan gubernur.

Padahal, keputusan gubernur menyangkut upah minimum kabupaten itu untuk buruh yang berstatus lajang dan bekerja 0 sampai 1 tahun.

Seharusnya, buruh yang sudah berkeluarga dan bekerja lebih dari satu tahun, tidak lagi menggunakan upah pokok berdasarkan ketentuan UMK.

"Seharusnya perusahaan sudah membuat struktur skala upah yang itu memang diatur di dalam undang-undang. Ini yang belum dilakukan," katanya.

Dengan struktur skala upah, maka penentuanya memperhatikan sesuai dengan kondisi keluarga buruh dan mempertimbangkan beban kerjanya.

Menurutnya, buruh perkebunan kelapa sawit masih jauh dari sejahtera. Bahkan alat kerja dan alat pelindung diri tidak lengkap untuk diberikan kepada pekerjanya saat menjalankan kewajibannya.

Padahal, alat kerja dan alat pelindung diri sangat penting bagi kehidupan pekerja di masa depan.

"Ada temuan kita buruh-buruh yang bekerja di bagian yang berhubungan dengan bahan kimia itu paling rentan terkontaminasi, tetapi kita masih menemukan buruh yang tidak menggunakan APD yang layak," ujar Lorent.

"Saya melihat buruh-buruh tidak terlindungi dengan baik. Ini berkaitan dengan kesehatannya. Ini efeknya berkelanjutan bahwa buruh bekerja tanpa APD dan alat kerja yang baik sehingga di masa tuanya saat dia harusnya menikmati masa pensiunnya dengan pesangon, justru sakit-sakitan. Di situ lingkaran kemiskinan tidak pernah berhenti," katanya.

Angka putus sekolah

Lorent menambahkan, masalah lain di perkebunan kelapa sawit adalah tingginya angka putus sekolah.

Di perkebunan kelapa sawit yang menyediakan fasilitas pendidikan, biasanya hanya terbatas SD dan SMP.

Sementara untuk SMA harus keluar sehingga jika anak akan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, harus mengeluarkan biaya tambahan karena daerahnya terisolasi.

Buruh dihadapkan dengan kondisi terbatasnya pendapatan dan tuntutan pendidikan anaknya.

"Karena pendapatan terbatas, akhirnya putus sekolah itu banyak terjadi. Maka itu kita sangat berharap perusahaan dan juga pemerintah betul-betul memperhatikan nasib buruh. Tidak bisa kelapa sawit ini hanya dipandang dari faktor produksi, tapi buruhnya tidak diperhatikan," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com