SIMALUNGUN, KOMPAS.com - Pengusulan Tuan Rondahaim Saragih Garingging (1828-1891) sebagai Pahlawan Nasional dari Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu.
Upaya itu terus dilakukan hingga saat ini agar sosok "Napoleon der Bataks" itu diakui oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional.
Salah seorang cicit Rondahaim, Lukman Rudi Saragih Garingging (56), mengatakan, Rondahaim pernah menerima tanda kehormatan bintang jasa sebagai Tokoh Provinsi Sumut dari Presiden BJ Habibie berdasarkan Kepres RI NO.077/TK/TAHUN 1999, tertanggal 13 Agustus 1999.
Baca juga: Samosir Music International Kembali Digelar, Musisi Mancanegara Menyanyikan Lagu Batak
Sejak itu, Pemerintah Kabupaten Simalungun berupaya mengusulkan nama Rondahaim sebagai Pahlawan Nasional.
Puluhan tahun berselang, upaya itu terus dilakukan, tapi nama Rondahaim tidak kunjung menyandang gelar pahlawan dari pemerintah.
"Jadi ini sebetulnya bukan mengusulkan dari bawah. Harapan kami kepada Bupati dan Tim Pencari Fakta jangan mengabaikan keturunan Rondahaim,” kata Rudi saat ditemui di Pematang Siantar, Selasa (10/10/2023).
Lukman berharap tim pencari yang menggali riwayat perjuangan Rondahaim mengikutsertakan keturunan Rondahaim ataupun ahli waris agar catatan sejarah Rondahaim akurat.
Informasi yang dihimpun dari Pemkab Simalungun melalui Bidang Hukum dan Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, soal pengusulan Rondahaim sebagai Pahlawan Nasional tidak memiliki catatan yang akurat.
Baca juga: Pemuda Batak Sebut Tersangka Mutilasi di Semarang Pura-Pura Minta Maaf agar Hukuman Diringankan
Kepala Bagian Hukum Pemkab Simalungun Frengki Purba mengakui adanya pengajuan nama Rondahaim sebagai pahlawan nasional tapi tidak mengingat kapan pengajuan itu dibuat.
Hal yang sama disampaikan oleh M Fikri Damanik selaku Kepala Disbudparekraf Simalungun. Menurut Fikri, saat itu Dinas Sosial sebagai mewakili Pemda pernah mengajukan itu hal itu ke pemerintah.
“Setahu saya, pernah diusulkan. Kebetulan, proses ini dilaksanakan di Dinas Sosial, bukan di Disbudparekraf. Tidak secara khusus, tapi atas nama Pemda. Hanya pelaksanaan urusan tersebut adanya di Dinsos,” kata Fikri lewat pesan tertulis.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partuha Maujana Simalungun (PMS) Dr Sarmedi Purba mengatakan, pengusulan itu intensif dilakukan sejak 2010 di tingkat kabupaten.
Oleh pemerintah kabupaten, kemudian diajukan kembali ke Pemerintah Provinsi Sumut.
Menurut Sarmedi, dokumen sebagai persyaratan sudah sesuai dengan peraturan perundang undangan dan telah dipenuhi.
Baca juga: Nasdem Somasi LSI Denny JA karena Hasil Survei Anies di Sumut Hanya 5 Persen
Ia pun berharap pada 10 November 2023, nama Rondahaim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden RI.
Sebab, kata dia, selama ini belum ada pahlawan nasional yang mewakili Simalungun.
Padahal, dari beberapa suku lain di Sumatera Utara sudah ditetapkan sebagai pahlawan. Ia mencontohkan Sisingamangaraja XII.
"Ini juga harga diri bahwa Simalungun ikut berjuang. Bahwa suku Simalungun juga ikut andil ambil bagian dalam melakukan perjuangan,” katanya.
“Tahun lalu belum terealisasi karena lebih didahulukan daerah lain, padahal kita sudah mengusulkan sejak puluhan tahun yang lalu,” ucapnya menambahkan.
Baca juga: Raja Ali Haji, Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa Indonesia
Nama Tuan Rondahaim Saragih Garingging (1828-1891) tidak asing lagi bagi warga Kota Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun, Sumut.
Di dua wilayah itu nama Rondahaim dipakai sebagai nama jalan. Di Simalungun, nama rumah sakit umum daerah (RSUD) juga dinamai Tuan Rondahaim.
Lukman Rudi Saragih Garingging (56), anak pasangan St John Lasim Saragih Garingging dan Jumani Nainggolan, merupakan salah satu cicit Rondahaim.
Ayah Lukman merupakan cucu terakhir Rondahaim yang meninggal dunia pada 2018.
Rudi sapaannya, menuturkan, Rondahaim adalah raja ke-14 yang bertakhta di Kerajaan Raya, saat ini merupakan wilayah Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.
Rondahaim adalah sosok raja yang menentang penjajahan kolonial Belanda di Sumatera.
Dia mempersempit ekspansi jajahan kolonial dengan strategi perangnya.
Rudi menyebutkan, Rondahaim membentuk pasukan gabungan dari kerajaan kecil di wilayah Simalungun, yakni Raja Siantar, Bandar, Sidamanik, Raja Tanah Jawa, Raja Pane, Raja Raya, Raja Purba, Raja Silimakuta, dan Raja Dolok Silou.
Baca juga: Pemprov Sumbar Usulkan Syafii Maarif Jadi Pahlawan Nasional
Rondahaim juga melatih para pasukan itu sebagai pasukan gerilya ataupun kavaleri dan mengangkat salah satu di antara mereka bernama Torangin Damanik sebagai Panglima Besar dari Kerajaan Sidamanik.
Selain perang terbuka dan gerilya, pasukan Rondahaim ditempatkan di beberapa pos di perkampungan untuk menjaga wilayah dari serangan Belanda.
"Jadi ketika Rondahaim masih hidup, Belanda tidak berani memijakkan kakinya sejengkal pun di tanah Simalungun,” kata Rudi.
Rondahaim berjuang melawan penjajahan kolonial Belanda dengan senjata. Senjata itu, kata Rudi, didapat dari hasil barter rempah-rempah dari Malaka yang saat itu dikuasai Portugis.
"Kalau dibilang tanpa senjata, itu ada buktinya meriam. Masih ada peninggalannya di Kodim Simalungun dan ada di Kabupaten Batubara,” ucapnya.
Baca juga: Dukung Mochtar Kusumaatmadja Jadi Pahlawan Nasional, Ridwan Kamil: Sosok yang Extraordinary
Selama Rondahaim memimpin Kerajaan Raya, serangkaian strategi perang diterapkan, hingga kolonial Belanda kesulitan memasuki wilayah Simalungun.
Belanda pun menjuluki Rondahaim sebagai "Napoleon der Bataks" karena ikut serta dalam perang yang terjadi di wilayah Residen Sumatera Timur dan aksi pembakaran tembakau Deli.
Rudi menyebut kakek buyutnya itu sosok yang sakti, garang, tanpa kompromi, serta cerdik. Pernah suatu ketika Belanda ingin berunding dengan Rondahaim di Pelabuhan Matapao.
Mendengar hal itu, Rondahaim mengumpulkan orang-orangnya dan memilih satu yang paling mirip dengan wajahnya. Orang itu, kata Rudi, lalu didandani dengan pakaian kerajaan dan menunggangi kuda menemui pejabat Belanda.
“Nah, belum turun orang itu langsung ditembak mati sama Belanda. Padahal, dia bukan Rondahaim. Mengetahui itu, tambah ketakutanlah Belanda. Rondahaim juga punya kesaktian bisa menghilang dan terbang,” ucap Rudi.
Rudi menuturkan, Tuan Rondahaim Garingging meninggal dunia di masa tuanya pada 1891. Makam Rondahaim dapat ditemui di Desa Aman Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.
Baca juga: Sakit, Luhut Jalani Perawatan di Singapura
Pusat Kerajaan Raya sekarang dikenal dengan Kecamatan Raya, di lingkungan perkantoran Bupati Simalungun.
Setelah kematian Rondahaim, anaknya Tuan Kapoltakan Saragih Garingging memimpin Kerajaan Raya.
Menurut Rudi, Belanda tanpa sengaja mengetahui kematian Rondahaim saat seorang pendeta Belanda tiba di wilayah Kerajaan Raya. Informasi kematian Rondahaim pun sampai ke telinga pemerintah kolonial.
Belanda langsung menggempur wilayah Simalungun dan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah itu pun takluk kepada Belanda.
“Kemudian ditandatangani perjanjian dengan Belanda, ditandai dengan babak dimulainya penjajahan Simalungun. Selama empat tahun Simalungun akhirnya takluk, tujuh kerajaan menyerahkan ke Belanda,” katanya.
Baca juga: Luhut: Saya Merasa Kelelahan yang Amat Luar Biasa...
Masih kata Rudi, kini peninggalan dan artefak dari Kerajaan Raya tidak ada yang tersisa saat meletusnya revolusi sosial di wilayah Simalungun yang terjadi pasca-kemerdekaan.
“Artefak dan peninggalan sejarah musnah saat revolusi sosial di Simalungun. Memusnahkan semua peninggalan sejarah Kerajaan Raya. Emas satu rumah pun habis karena revolusi sosial,” tutur Rudi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.