Mengenai istilah penyebutan ceker ayam, Susilawati tidak mengetahui secara pasti, menurut cerita sang nenek, istilah itu muncul saat proses pencetakan ceker ayam.
Pekerja mengambil bahan pembuatan ceker ayam, seperti ayam yang sedang menceker tanah menggunakan kakinya. Bedanya pekerja menggunakan tangannya.
"Nenek pernah bilang kenapa namanya ceker ayam? Ya namanya kayak diceker-ceker buatnya, nenek bilang kayak gitu," ujar Susilawati.
Baca juga: Heboh soal Bipang, Khofifah dan Gus Ipul Pamer Bipang Jangkar Khas Kota Pasuruan
Dari sepengetahuan Susilawati, makanan ini awalnya populer di Rantauprapat, namun kini justru kebalikannya, orang dari Rantau Prapat yang membelinya ke Medan.
Meskipun begitu kata dia, seiring berkembangnya zaman, pembelian ceker ayam di tempatnya terus berkurang.
Dia mengakui kurang lihainya memasarkan ceker ayam, menggunakan teknologi, menjadi penyebabnya.
Selama ini Susilawati hanya menunggu pelanggan atau distributor kecil yang datang membeli ke tempatnya.
"Sekarang pesanan ngak ramai lagi, kalau dulu kita buka sampai malam, sekarang kalau ngak ada pesanan, kita ngak buat, rata rata keseharian 100 bungkus kita buat. Kalau bungkus yang besar isinya 20, yang kecil 10 isinya. Rincian harganya dari Rp 13.000 sampai Rp 20.000 per, bungkusnya," ujar Susilawati
Meski pembeli kian berkurang, Susilawati bersyukur masih ada yang menyukai jajanan ini.
Bahkan kata dia, para pelancong dari luar Medan, sering datang membeli ke tempatnya untuk dijadikan oleh-oleh.
"Orang mau pulang ke Jakarta juga sering beli kemari, untuk oleh-oleh," ujarnya.
Baca juga: Kisah Aunil, Pembuat Kue Ganjel Rel Dugderan Khas Kota Semarang
Kata dia hal itu tidak terlepas dari kualitas rasa Ceker Ayam Ridho yang tidak lekang oleh zaman.
Dari dulu hingga sekarang perusahaannya menggunakan bahan dengan kualitas premium hingga ceker ayamnya tetap bisa bertahan hingga generasi ketiga.
"Kalau orang menggunakan bahan semurah-murahnya, biar banyak untungnya, kami enggak, semuanya murni minyak, gula aren, ubinya. Keunggulannya ada rasanya beda gitu. Kita tetap mempertahankannya walaupun ubi naik kami enggak naik, tapi untuk saat ini masih bisa bertahan, alhamdulillah," harapnya
Susilawati berharap ada pihak-pihak yang membimbingnya memasarkan ceker ayam secara digital, agar bisnisnya semakin berkembang dan tak tergerus oleh zaman.
"Saya berharaplah ada yang mengajarkannya," tutup Susilawati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.