"Karena korban merasa ketakutan ditodong dengan senjata api maka korban langsung melarikan diri dari pintu belakang. Sesaat baru lari keluar rumah, tiba-tiba korban ditembak di bagian kepala belakang, penembakan tersebut terjadi di hadapan istri dan anaknya.
"Setelah korban tergeletak tidak bernyawa, istri korban menjerit histeris dan tanpa alasan yang jelas polisi menembakkan senjata ke atas sebanyak sekitar empat kali," tambah Andi.
Atas tindakan itu, terdakwa Brigadir K dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan selama tujuh tahun karena terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan.
Merujuk dari kasus-kasus tersebut, Andi melanjutkan, peristiwa pelanggaran HAM masa lalu dapat terjadi jika perilaku aparat yang melakukan penembakan mati terhadap terduga pelaku kejahatan, kemudian didukung oleh sikap permisif bahkan dukungan dari elite penguasa.
"Mungkin saja muncul berbagai kasus selayaknya peristiwa penembakan misterius (petrus) pada masa Orde Baru," kata Andi.
Andi menjelaskan, peristiwa 'petrus' merupakan satu kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, yang hingga kini belum juga tuntas diselesaikan.
Di Masa Orde Baru, tambah Andi, orang-orang yang dianggap melakukan tindakan kriminal dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan.
"Tindakan semacam itu merupakan pelanggaran yang serius terhadap hak asasi manusia. Tentunya kita tidak ingin masa kengerian dan kekejaman tersebut kembali terjadi di masa sekarang," kata Andi.
Baca juga: Kontras dan LBH Kritik Bobby yang Minta Polisi Tembak Mati Begal: Serampangan dan Langgar HAM
Penembakan misterius, 'petrus', terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia pada periode 1982-1985.
Rangkaian peristiwa ini telah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat karena lebih dari 1.000 orang yang dicap preman dibunuh tanpa diadili terlebih dulu
Selain melanggar HAM, Wirya Adiwena dari Amnesty mengatakan, penembakan mati di luar jalur hukum juga bertentangan dengan peraturan yang dibuat oleh kepala Polri dalam menindak kejahatan.
Peraturan itu adalah Perka Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peneliti ICJR, Girlie Aneira Ginting, mengatakan, aturan itu dengan jelas menjabarkan situasi apa jika upaya penembakan dapat dilakukan.
Girlie memaparkan, senjata api diperbolehkan dengan tujuan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan. Selain itu, senjata api dapat dilakukan bila terdapat ancaman yang bersifat segera dan dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polisi dan masyarakat.
Baca juga: Dikritik karena Minta Polisi Tembak Mati Begal, Bobby Nasution: Kena Marah Ya Saya
Kemudian, kata Girlie, penggunaan senjata api oleh aparat dapat dilakukan untuk mengantisipasi kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatan umum, seperti membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, atau menghancurkan objek vital.
Berdasarkan aturan itu, Girlie menyatakan bahwa penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian menjadi upaya yang paling terakhir (last resort) dan sifatnya adalah untuk melumpuhkan bukan mematikan.
"ICJR meminta Walikota Medan untuk berhati-hati bicara tembak mati pelaku kejahatan. Dorongan demikian dari kepala daerah dapat mengakibatkan situasi pelanggaran HAM yang serius dari mulai masalah prosedur sampai dengan salah sasaran," kata Girlie.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.