“Apabila ada klaim, masyarakat bisa mengajukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan TPL sangat menghormati prosedur dan ketentuan yg berlaku terkait masyarakat adat,” sambungnya.
Baca juga: Nyepi dan Ramadhan Bersamaan, Desa Adat Beri Pesan Toleransi
Oleh sebab itu, Salomo mengatakan kasus ini adalah “tindakan kriminal murni yang dilakukan individu” dan perusahaan “menghormati proses hukum yang berjalan”.
Klaim perusahaan itu dikritik oleh AMAN yang menilai "tidak semestinya masyarakat yang hadir lebih dulu harus meminta-minta hak mereka kepada perusahaan".
Namun terlepas dari perspektif masyarakat adat, polisi tetap memproses kasus itu.
Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, mengatakan pihaknya telah melayangkan surat panggilan pemeriksaan kepada Sorbatua sebanyak dua kali, namun dia tidak menghadiri panggilan itu.
Polisi kemudian menangkap Sorbatua pada Jumat (22/03) dan mengeklaim telah memperlihatkan surat perintah penangkapan. Namun menurut AMAN dan Aliansi Gerak Tutup TPL, polisi tidak menunjukkan surat perintah penangkapan.
Baca juga: Mengenal Mangalli Reu, Upacara Adat Masyarakat Simbuang Batutallu
Sorbatua disebut sedang pergi membeli pupuk bersama istrinya ketika penangkapan itu terjadi.
“Penangkapannya itu dengan cara paksa dan tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan. Jadi proses hukum tersangka sampai ditahan sekarang bermasalah,” kata Judianto Simanjuntak dari Aliansi Gerak Tutup TPL.
Penangkapan ini turut memicu aksi protes dari masyarakat adat, aktivis, dan mahasiswa. Mereka telah menggelar tiga kali aksi di depan Polda Sumatra Utara menuntut pembebasan Sorbatua.
Veronika termasuk salah satu yang ikut aksi.
"Kami akan terus berjuang sampai bisa bertemu dengan opung, kalau bisa dilepaskan lah dengan penangguhan penahanan," kata Veronika.
Baca juga: 10 Unit Rumah Adat di Sumba Barat NTT Terbakar
Dia mengaku khawatir dengan kondisi kesehatan kakeknya yang sudah tua.
Sementara itu di Jakarta, Lasron Sinuran dari AMAN bersama sejumlah perwakilan Aliansi Gerak Tutup TPL mendatangi Badan Reserse Kriminal Polri pada Kamis (28/03) untuk audiensi dengan kepolisian demi pembebasan Sorbatua.
Namun dari audiensi itu, belum ada jaminan apa pun dari polisi untuk setidaknya penahanan Sorbatua bisa ditangguhkan.
Dia juga menuding bahwa kasus ini adalah bentuk "intimidasi" dan "kriminalisasi" terhadap masyarakat. Polisi juga dituding “lebih berpihak pada perusahaan”.
“Kasus ini hanya pemantik sekaligus mengintimidasi komunitas adat lainnya supaya takut. Mereka ini adalah komunitas-komunitas masyarakat adat yang bersentuhan langsung wilayah adatnya, yang diklaim oleh negara dan diberikan izin kepada TPL,” kata Lasron dari AMAN.
Baca juga: Baju Adat Rongkong Jadi Seragam Petugas KPPS di Palopo
Namun Polda Sumatra Utara membantah tudingan itu dengan mengeklaim bahwa "proses yang dilakukan sudah sesuai prosedur".
Mengenai tuntutan pembebasan Sorbatua, Hadi meminta masyarakat menempuh "cara-cara hukum yang baik".
"Semua ada mekanismenya, mekanisme praperadilan, pengaduan masyarakat, penangguhan penahanan. Semua itu ada proses hukumnya. Polisi tidak menutup ruang itu karena ada aturannya, tapi jangan menempuh cara-cara jalanan yang pada akhirnya menimpulkan keresahan masyarakat," kata Hadi.
Baru beberapa tahun belakangan masyarakat mengaku punya keberanian untuk melawan, terutama di lahan garapan PT TPL yang ditanami eukaliptus hanya berjarak ratusan meter dari kampung mereka.
"Yang kami perjuangkan itu wajar, masih di bibir kampung kami, pekarangan kampung kami," kata Veronika.
Bentuk perlawanan masyarakat adalah dengan mengumpulkan bibit-bibit sayuran dan buah-buahan, lalu menanamnya di lahan yang ingin mereka pertahankan.
Baca juga: Prasasti Sitopayan II, Bukti Awal Perkembangan Aksara Batak
"Itulah yang dibilang mereka [perusahaan] kami menduduki lahan, karena kami melawan. Kalau kami tidak melawan, perusahaan akan terus menduduki lahan itu. Siap tebang, tanam lagi. Tidak sempat mereka biarkan kosong," jelas Veronika.
Implikasinya, mereka berulang kali berkonflik dengan perusahaan maupun aparat.
Sepanjang 2023, masyarakat pernah didatangi perwakilan perusahaan dan aparat, lalu ditegur untuk tidak beraktivitas di wilayah konsesi perusahaan.
"Setiap kali bentrok, kami menerangkan di tempat kejadian bahwa ada tugu yang sudah berdiri dari tahun 1700-an lebih di makam nenek moyang kami di kaki gunung. Tapi kenapa mereka lebih mendengar TPL?" kata dia.
Dia mengatakan masyarakat di Kampung Dolok Parmonangan akan terus berjuang, meskipun saat ini mereka merasa aparat penegak hukum "lebih berpihak pada perusahaan" dan pemerintah pun "kurang mendengar" aspirasi mereka.
Baca juga: 2 Totem Kamoro Hadir di Danau Toba, Bukti Lambang Persahabatan Suku Batak dan Suku Kamoro Papua
Mereka berharap suatu hari nanti pemerintah akan mengevaluasi izin konsesi PT TPL dan masyarakat adat akan mendapatkan hak atas tanah mereka.
Pengakuan itu sebenarnya sudah mereka upayakan melalui camat, bupati, hingga pemerintah pusat.
Masyarakat juga memetakan wilayah adat mereka yang kemudian diverifikasi oleh Badan Restorasi Wilayah Adat (BRWA).
Pada 2019, masyarakat Ompu Umbak Siallagan menemui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar wilayah adat mereka dilepaskan dari izin konsensi PT TPL. Namun sayangnya sampai saat ini, perjuangan mereka belum membuahkan hasil.
“Terakhir kali bertemu dengan Menteri Siti Nurbaya tahun 2021 di Parapat, Bapak Sorbatua ikut di situ. Kami serahkan data-data supaya cepat memproses. Pemerintah waktu itu janji akan segera memproses ini, tapi sampai sekarang tidak ada juga,” kata Hengky dari AMAN.
Baca juga: Tokoh-Tokoh Perang Batak
Dilansir dari Kompas pada 2022, sebanyak 93 masyarakat adat diproses hukum dan 39 orang dipenjara dalam dua dekade terakhir.