Pada 2022, seorang warga dari komunitas adat Tukkonisolu di Desa Porsoburan Barat, Kecamatan Habissaran, Kabupaten Toba, divonis tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar oleh Pengadilan Negeri Balige.
Dia divonis bersalah melakukan perusakan hutan karena menanam jagung dan kopi di tanah yang dianggap sebagai wilayah adat, namun tumpang tindih dengan area konsesi PT TPL.
Dia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan pada tingkat inilah Dirman akhirnya dinyatakan tidak bersalah sehingga bisa dibebaskan.
Baca juga: Asal-usul dan Falsafah Hidup Orang Batak
Kasus lainnya menimpa masyarakat adat Sihaporas bernama Jonny Ambarita. Mereka divonis sembilan bulan penjara karena menganiaya pekerja PT TPL.
Ini adalah buntut dari upaya mereka mempertahankan tanah adat.
Sebaliknya dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh pekerja PT TPL tersebut kepada balita bernama Mario Ambarita, tidak pernah tuntas hingga saat ini.
Konflik berkepanjangan dengan PT TPL juga membuat masyarakat adat melapor ke Presiden Joko Widodo pada Agustus 2021.
Dalam pertemuan di Jakarta, Presiden Joko Widodo disebut menjanjikan akan mengembalikan tanah adat kepada masyarakat adat.
Masyarakat adat bersama sejumlah LSM juga menyerahkan laporan terkait dampak operasional PT TPL terhadap kehidupan mereka.
Baca juga: Samosir Music International Kembali Digelar, Musisi Mancanegara Menyanyikan Lagu Batak
Di dalam laporan itu, Aliansi Gerak Tutup TPL tidak hanya menyoroti kriminalisasi dan intimidasi yang menimpa masyarakat adat sekitar, namun juga dampak lingkungannya.
Mereka menyebut bahwa sekitar 34.817 hektare konsesi PT TPL berada di daerah tangkapan air Danau Toba. Hutan di daerah tangkapan air itu berganti menjadi perkebunan eukaliptus.
Ini menyebabkan sumber air masyarakat sekitar untuk air minum dan kebutuhan irigasi pertanian terancam.
Lebih dari 2.000 hektare lahan pertanian telah beralih fungsi akibat terganggunya pasokan air dari hulu.
Akar dari konflik ini adalah nihilnya perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak.
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan. Sementara itu, perampasan terhadap wilayah adat masyarakat terus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
AMAN mencatat selama lima tahun belakangan, terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat di Indonesia.
Hengky mengatakan masyarakat pada akhirnya dibiarkan sendiri berhadapan dengan korporasi yang memegang izin konsesi dari pemerintah.
Sementara itu, proses penerbitan izin konsesi di kawasan hutan "sering kali" dilakukan secara tidak transparan dan tanpa pelibatan masyarakat.
Baca juga: Desa Wisata Hariara Pohan di Samosir, Lokasi Belajar Budaya Suku Batak
"Klaim-klaim pemerintah itu banyak yang sepihak, tidak ada keterbukaan informasi dan pelibatan masyarakat. Tiba-tiba pemerintah beri izin ke perusahaan, masyarakat adat lah yang menjadi korban," kata Hengky.
"Absennya pemerintah untuk melindungi hak masyarakat adat ini, memang akan membuat masyarakat adat semakin terpinggirkan, seperti kasus Bapak Sorbatua ini," tuturnya.
Sarmedi mengatakan, di wilyah Kabupaten Simalungun tidak pernah ada tanah adat atau wilayah ulayat Simalungun, serta tidak ada tanah ulayat lembaga adat lainnya.
"Saya juga menegaskan di Kabupaten Simalungun Bumi Habonarn do Bona, bahwa tidak ada yang namanya tanah adat atau tanah Ulayat. Dan saya mengecam tegas terhadap siapa pun atau lembaga mana pun, apalagi itu bukan etnik Simalungun yang mengklaim memiliki tanah adat di wilayah Kabupaten Simalungun,"kata Sarmedi, Minggu (24/3/2024).
Pernyataan itu disampaikan Sarmedi menyikapi klaim Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan Nagori Pondok Bulu, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun.
Baca juga: Kronologi 2 Balita Tewas Saat Kebakaran di Simalungun, Tertidur Pulas Saat Ditinggal Sang Ayah
Sepekan terakhir, soal klaim tanah atau ulayat adat di Wilayah Kabupten Simalungun memicu terjadinya polemik yang menghebohkan publik.
Peristiwa itu berkaitan dengan penangkapan Sorbatua Siallagan di Tanjung Dolok Kabupaten Simalungun oleh Penyidik Polda Sumut pada Jumat (22/3/2024) lalu.
Sorbatua ditangkap atas Laporan Polisi(LP)/B/717/VI/2023/SPKT/Polda Sumatera Utara, 16 Juni 2023 laporan PT Toba Pulp Lestari.
Dalam laporan ini, Sorbatu Siallagan disebut telah merusak dan menebang pohon eucalyptus serta membakar lahan yang ditanami oleh PT Toba Pulp Lestari Tbk.
Dalam laporan itu, Sorbatua menduduki seluas ± 162 Ha (seratus enam puluh dua hektar), sesuai dengan Peta Klaim Areal PT TPL.
Atas persoalan itu, Sarmedi Purba mendukung Polri maupun Polda Sumut atau Polres Simalungun melakukan penegakan hukum.
Baca juga: Kronologi Siswi SD di Simalungun Tewas Ditabrak Pikap Saat Menyeberang
"Saya sangat mendukung upaya Polda Sumut ataupun Polres Simalungun menindak tegas segala bentuk tindak pidana di Wilayah Kabupten Simalungun. Segala bentuk tindak pidana ada konsekuensi hukum yang harus dijalani,"kata Sarmedi.
Menurut Sarmedi, pernyataannya didukung dengan terbitnya peraturan Menteri ATR RI, Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2024 dan tahun penyelengaraan administrasi dan pendaftaran tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, yang menyatakan bahwa tidak ada tanah adat ulayat di Wilayah Kabupaten Simalungun.
"Tanah tidak bisa diserahkan sebagai tanah ulayat kalau sebelumnya sudah diberikan negara kepada hak pengguna usaha yaitu kepada perusahaan yang berbadan hukum,"bebernya.
Wartawan di Medan, Apriadi Gunawan, berkontribusi dalam laporan ini
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.