Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Kearifan Lokal dari Sumatera Utara, Ada Fahombo dan Mangokal Holi

Kompas.com - 09/06/2024, 07:03 WIB
Puspasari Setyaningrum

Editor

KOMPAS.com - Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara memiliki berbagai kearifan lokal yang masih terpelihara hingga kini.

Kearifan lokal ini berasal dari nilai-nilai luhur tradisi masyarakat setempat yang telah berlangsung secara turun-menurun.

Meski saat ini beberapa kearifan lokal perlahan mulai dilupakan oleh generasi muda, namun ada banyak kearifan lokal di Sumatera Utara yang masih melekat dan sulit untuk dipisahkan dari masyarakat yang hidup di wilayah tersebut.

Baca juga: Subak, Kearifan Lokal Bali untuk Kelola Air yang Terjaga Ribuan Tahun

Bahkan beberapa di antaranya bahkan telah dikenal oleh dunia dan menjadi salah satu daya tarik wisata.

Mengenal ragam kearifan lokal di Sumatera Utara penting untuk bisa memberikan rasa hormat terhadap budaya dan nilai yang dijunjung oleh masyarakat setempat.

Berikut adalah beberapa contoh kearifan lokal di Sumatera Utara yang masih dilestarikan dari generasi ke generasi.

Baca juga: 5 Kearifan Lokal di Sumatera, dari Smong hingga Kelekak

1. Tradisi Fahombo

Fahombo, Hombo Batu, atau Lompat Batu adalah sebuah tradisi yang hanya dilakukan oleh laki-laki suku Nias.

Tradisi Fahombo dilakukan para pemuda dengan cara melompati tumpukan batu setinggi dua meter.

Baca juga: Tradisi Sasi, Konservasi Alam Berbasis Kearifan Lokal di Raja Ampat

Dalam adat setempat, tradisi ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemuda tersebut sudah pantas untuk dianggap dewasa secara fisik.

Selain ditampilkan sebagai acara adat, tradisi Lompat Batu ini juga menjadi pertunjukan yang menarik bagi wisatawan yang datang ke sana.

Salah satu desa adat yang sangat kental dengan tradisi Lompat Batu adalah Desa Bawomataluo di Kabupaten Nias Selatan.

2. Mangokal Holi

Upacara Mangokal Holi adalah salah satu tradisi yang dianggap sakral bagi masyarakat Batak Toba.

Upacara ini dilakukan untuk menggali makam orang tua atau leluhur untuk diambil tulang-belulangnya dan dipindahkan ke tempat yang baru.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Asfika Yogi Hutapea, berjudul Upacara Mangokal Holi pada Masyarakat Batak di Huta Toruan, Kecamatan Banuarea, Kota Tarutung, dijelaskan bahwa tradisi Mangokal Holi dulunya berasal dari kultur Batak pra-Kristen.

Tradisi ini dianggap perlu sebagai salah satu bentuk penghormatan seseorang kepada orang tua atau leluhur mereka.

Upacara Mangokal Holi dilakukan dengan proses panjang, mulai dari persiapan, penggalian, pengambilan tulang belulang, prosesi adat, hingga kembali dimasukkan ke makam yang baru.

Selain membutuhkan waktu yang lama, tradisi Mangokal Holi juga dikenal memakan biaya yang sangat banyak.

3. Patung Sigale-gale

Patung Sigale-gale adalah sebuah pertunjukan yang menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung ke Desa Tomok yang ada di sekitar Danau Toba.

Nama Sigale-gale berasal dari kata dalam bahasa Batak Toba yaitu gale yang artinya adalah lemah gemulai.

Patung yang berbentuk manusia berpakaian hitam dengan sampiran ulos dan kepala ditutup dengan sortali ini akan bergerak seolah-olah sedang menari.

Sigale-gale biasanya bergerak diiringi oleh tarian tor-tor yang salah satu ciri khas gerakannya.

Pertunjukkan ini berasal dari sebuah cerita rakyat tentang Manggale anak dari Raja Rahat yang kemudian diwariskan turun-temurun dan kemudian tumbuh sebagai sebuah kearifan lokal.

4. Jamu Laut

Jamu Laut adalah tradisi masyarakat suku Melayu yang bermukim di pesisir Sumatera Utara, seperti di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai).

Tradisi ini merupakan bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya perikanan oleh masyarakat yang telah lama mengenal kondisi alam sekitarnya.

Tradisi Jamu Laut di Kabupaten Langka dilakukan setiap tiga tahun sekali, sementara di Kabupaten Serdang Bedagai dilakukan tiap lima tahun sekali.

Ketika ritual dilakukan, masyarakat melalui pawang laut akan memberikan sesaji kepada penguasa laut dan para leluhur.

Pelaksanaan tradisi Jamu Laut bertujuan untuk memberikan persembahan kepada para penunggu laut atau yang dikenal dengan sebutan Mambang Laut.

5. Marsialapari

Marsialapari adalah bentuk kearifan lokal masyarakat agraris dari suku Mandailing berupa kegiatan gotong royong dalam menggarap sawah.

Pelaksanaan marsialapari dilakukan mulai dari prosesi marsuaneme (menanam padi) maupun pada prosesi manyabii (memanen padi).

Caranya adalah dengan saling bergantian menggarap sawah, seperti jika hari ini tetangga membantu menggarap sawah kita selama dua hari, maka kita juga akan datang membantu menggarap sawah tetangga dengan jumlah hari yang sama.

Karena dikerjakan secara bersama-sama, maka untuk mengerjakan sawah yang luas tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak.

Namun dengan adanya teknologi pertanian seperti traktor dan mesin perontok padi, kegiatan marsialapari di ladang lambat laun mulai sulit ditemukan.

Sumber:
kemensos.go.id 
indonesia.go.id 
kebudayaan.kemdikbud.go.id 
mediacenter.serdangbedagaikab.go.id 
jppik.id/index.php 
kebudayaan.kemdikbud.go.id 
gramedia.com 
tribunmedanwiki.tribunnews.com 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com