KOMPAS.com - Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara memiliki berbagai kearifan lokal yang masih terpelihara hingga kini.
Kearifan lokal ini berasal dari nilai-nilai luhur tradisi masyarakat setempat yang telah berlangsung secara turun-menurun.
Meski saat ini beberapa kearifan lokal perlahan mulai dilupakan oleh generasi muda, namun ada banyak kearifan lokal di Sumatera Utara yang masih melekat dan sulit untuk dipisahkan dari masyarakat yang hidup di wilayah tersebut.
Baca juga: Subak, Kearifan Lokal Bali untuk Kelola Air yang Terjaga Ribuan Tahun
Bahkan beberapa di antaranya bahkan telah dikenal oleh dunia dan menjadi salah satu daya tarik wisata.
Mengenal ragam kearifan lokal di Sumatera Utara penting untuk bisa memberikan rasa hormat terhadap budaya dan nilai yang dijunjung oleh masyarakat setempat.
Berikut adalah beberapa contoh kearifan lokal di Sumatera Utara yang masih dilestarikan dari generasi ke generasi.
Baca juga: 5 Kearifan Lokal di Sumatera, dari Smong hingga Kelekak
Fahombo, Hombo Batu, atau Lompat Batu adalah sebuah tradisi yang hanya dilakukan oleh laki-laki suku Nias.
Tradisi Fahombo dilakukan para pemuda dengan cara melompati tumpukan batu setinggi dua meter.
Baca juga: Tradisi Sasi, Konservasi Alam Berbasis Kearifan Lokal di Raja Ampat
Dalam adat setempat, tradisi ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemuda tersebut sudah pantas untuk dianggap dewasa secara fisik.
Selain ditampilkan sebagai acara adat, tradisi Lompat Batu ini juga menjadi pertunjukan yang menarik bagi wisatawan yang datang ke sana.
Salah satu desa adat yang sangat kental dengan tradisi Lompat Batu adalah Desa Bawomataluo di Kabupaten Nias Selatan.
Upacara Mangokal Holi adalah salah satu tradisi yang dianggap sakral bagi masyarakat Batak Toba.
Upacara ini dilakukan untuk menggali makam orang tua atau leluhur untuk diambil tulang-belulangnya dan dipindahkan ke tempat yang baru.
Dalam jurnal yang ditulis oleh Asfika Yogi Hutapea, berjudul Upacara Mangokal Holi pada Masyarakat Batak di Huta Toruan, Kecamatan Banuarea, Kota Tarutung, dijelaskan bahwa tradisi Mangokal Holi dulunya berasal dari kultur Batak pra-Kristen.
Tradisi ini dianggap perlu sebagai salah satu bentuk penghormatan seseorang kepada orang tua atau leluhur mereka.