Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Ginting, "Pelukis Sampah" yang Karyanya Diminati Orang Asing, di Indonesia Malah Tak Laku

Kompas.com - 04/01/2022, 06:09 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Edy Suranta Ginting, salah satu pelukis aliran surealisme asal Indonesia yang begitu peduli dengan lingkungan dan kegiatan sosial. Dia mengumpulkan sampah plastik, kemudian diolah menjadi lukisan yang nilainya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Hidupnya memang nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Alasannya? Karena Edy ingin menyebarkan apa yang bisa diperbuat di banyak tempat. Saat Kompas.com menghubunginya, pria karo ini pun sedang berada di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Di sana, dia sedang menyelesaikan lukisan pesanan sebuah perusahaan dan lukisan idealis untuk galeri di Yogyakarta yang mengontraknya selama dua tahun. Pria ramah ini menjelaskan, produksi lukisannya hanya ada dua yaitu pesanan dan idealis.

Lukisan idealisnya bukan untuk orang Indonesia. Menurutnya, orang Indonesia kurang mengerti dan menghargai seni. Ratusan buah tangannya dinikmati dan minati orang asing, terutama Jerman karena sponsor utamanya dari Berlin.

Harganya mulai Rp 20 juta sampai Rp 35 juta. Lukisan idealis tidak ada yang dipublikasikan, sesuai kesepakatan kontrak. Apa yang dilihat di media-media adalah lukisan pesanan dan semuanya gambar wajah.

"Di Indonesia, lukisan idealis saya sama sekali belum pernah laku sampai sekarang. Orang Indonesia tidak pernah memesan lukisan yang benar-benar dari saya," kata pelukis beraliran surealisme ini, akhir Desember 2021 lalu.

Baca juga: Pelukis Djoko Pekik Serahkan Lukisan Berburu Celeng Merapi ke Museum Anak Bajang

"Kalau orang luar, setelah menanyakan apa alirannya, langsung meminta dibuatkan lukisan tanpa banyak 'cing-cong'," sambungnya.

Jika dengan orang asing, katanya, Edy diberi kebebasan mengekspresikan apa yang ada di kepalanya.

Itu berbanding terbalik dengan orang Indonesia. Dia selalu merasa pusing, sampai pernah menutup order.

Menurutnya, terlalu banyak permintaan dari orang Indonesia yang aneh. Misalnya saja ada yang meminta hidung dimancungkan atau wajah ditiruskan. Begitu lukisan selesai dan tidak mirip, si pemesan tak sungkan murka.

"Itulah susahnya... Kalau diberi kebebasan, pasti 400 kali lebih bagus daripada didiktekan," tutur Edy.

Uang hasil jual lukisan untuk sosial

Laki-laki Suku Karo asal Ajijahe, salah satu desa di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara itu menyebut, uang dari lukisan idealis dipakai untuk kebutuhan perjalanan seperti membeli tiket dan dana hidup di kampung orang.

 

Suga dan Jin BTS, Edy Suranta Ginting sempat dituding menghina karena melukis menggunakan sampah plastik bekas pakai, Senin (3/1/2022)Mei Leandha/Kompas.com Suga dan Jin BTS, Edy Suranta Ginting sempat dituding menghina karena melukis menggunakan sampah plastik bekas pakai, Senin (3/1/2022)

Sejak tahun 2000, Edy memilih meninggalkan kampung halaman, lalu hidup nomaden.

Tiga tahun belakang, ia berkegiatan di Desa Taat, Kecamatan Gadung, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Setelah itu ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sampai saat ini di Jakarta.

"Kalau tidak berpindah-pindah, kita tidak menyebarkan apa yang bisa kita buat. Jika di suatu daerah ada masyarakat sekitar yang sudah mampu melanjutkan kegiatan, berarti saya harus pindah, mencari tempat lain lagi," ucapnya.

Uang hasil lukisan pesanan dihabiskan untuk membeli buku, sepatu, tas dan lainnya.

Tujuannya membantu dan mengedukasi anak-anak pedalaman, termasuk di Tanah Karo Simalem.

Di Karo, Edy menyisihkan uangnya untuk korban erupsi Gunung Sinabung.

"Di daerah Singalor Lau, masyarakat membuka jungle class sehingga perlu di-support buku bacaan, buku tulis, buku gambar, apa saja yang penting terkait edukas," ucapnya.

Edy ikhlas menyumbang karena beranggapan apa yang didapatnya adalah milik mereka yang membutuhkan.

"Kalau dibilang ingin nggak punya mobil mewah? Ingin... Sebenarnya pengen simpan itu semua uang. Tapi kenyataannya, ketika pergi ke suatu daerah, ada orang yang beli pensil saja tidak bisa. Kira-kira ke mana semua yang tajir-tarir, yang punya tupoksi mengurusi pendidikan di Indonesia, ke mana semua?," ucap Edy miris.

"Sebagai manusia, ya otomatis kita miris. Saya dulu sekolah di pedalaman, harus jalan kaki. Aku ngerasain benar-benar, bertahun-tahun jalan kali, pulang-pergi setiap hari 20 kilo untuk bisa sekolah," cerocosnya.

Edy mengaku tidak suka sekolah, maksudnya sistem pendidikan dengan kurikulum. Murid-murid dipaksa menelan semua pelajaran di waktu yang bersamaan.

Menurutnya, inilah yang membuat sulit mendapat seorang ahli di Indonesia karena tidak pernah diberi kebebasan untuk fokus di bidangnya. Kebebasan inilah yang membuat ia harus berpindah-pindah sekolah.

"Aku tetap berdiri di bidangku walaupun guru mau pecat, terserah. Pada akhirnya, aku merasa sudah tidak lagi menjadi manusia di Medan, apapun yang aku tahu tidak ada gunanya. Tahun 2000, aku ke Bali," kata dia.

Perjalan melukis dari sampah

Di Pulau Dewata, Edy bertemu orang-orang yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan seperti Navicula dan Jerinx SID.

Mereka berkolaborasi melakukan gerakan bersama, para artis dengan lagu-lagu yang mereka ciptakan, Edy lewat lukisan yang merupakan basic-nya.

Sebelum melukis, ia lebih dulu membuat rumah dari segala jenis sampah seperti pembalut wanita dan popok bayi. Rumah-rumah buatannya berada di Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Wamena dan Halmahera Utara, digunakan sebagai tempat belajar dan berkreasi. Sayang, tidak terpublikasi.

Penggunaan sampah menjadi lukisan mulai benar-benar dilakukannya pada 2000-an.

Dia aktif di kegiatan penyelamatan lingkungan, terutama dalam hal mengolah limbah plastik, edukasi anak-anak pedalaman, pertanian organik, dan home industry.

Lukisan menjadi alat kampanye dan edukasi bahwa sampah berguna untuk banyak hal, mulai dari rumah, patung sampai beton. Melukis dengan limbah plastik agar banyak yang melihat dan terinspirasi melakukan hal yang sama.

"Mana tahu dengan semakin banyak orang yang mengolah sampah, bisa jadi sumber pendapatan, seperti tujuan ku," ucapnya.

Sampah yang digunakan Edy adalah kantong kresek atau asoy sebab lebih transparan sehingga lebih mudah menggradasikan warna. Bungkus deterjen atau sejenisnya bisa dipakai, namun hasilnya akan seperti siluet.

 

Proses pembuatan lukisan sampah plastik dimulai dari mengumpulkan, membersihkan dan mengeringkan. Kemudian memotong-motong menjadi beberapa potongan lalu menempelkannya di kanvas yang sudah disketsaMei Leandha/Kompas.com Proses pembuatan lukisan sampah plastik dimulai dari mengumpulkan, membersihkan dan mengeringkan. Kemudian memotong-motong menjadi beberapa potongan lalu menempelkannya di kanvas yang sudah disketsa

Kalau untuk membuat rumah, tidak dipilih-pilih kecuali sampah medis. Alasannya, sampah medis tidak boleh ditangani per-individu, harus ada izin, masker sekali pakai termasuk sampah medis.

"Sebenarnya kalau mau dikelola, semuanya bisa, apa saja termasuk puntung rokok. Tapi kita tidak dibolehkan menangani sampah medis. Jadi ya, sebenarnya itu tanggung jawab dinas kesehatan, tapi tidak ditangani juga," kata Edy dengan nada kesal.

Kresek untuk lukisannya, didapat dengan mencari sendiri, tanpa pengepul atau pemasok. Dia kumpul, bersihkan, steril dan keringkan.

Kemudian memotong-motong menjadi beberapa potongan lalu menempelkannya di atas kanvas yang sudah disketsa. Untuk satu lukisan, Edy tidak bisa menyebut berapa asoy yang dibutuhkan.

Sebelumnya, Edy pernah bereksperimen dengan lumpur, ampas kopi, bumbu dapur, daun dan banyak lagi.

Kantong kresek juga sebentar lagi akan ditinggalkan, kembali melakukan uji coba dengan bahan baru namun tetap dari sampah juga. Tujuannya supaya masyarakat mengetahui bahwa tidak hanya kresek yang bermanfaat.

Lukis Suga dan Jin

Ditanya berapa total lukisan kantong kreseknya, Edy mengaku lupa. Untuk yang di Indonesia, katanya masih bisa dihitung karena tersimpan di akun TikTok @edy_art_studio.

Cerita mengalir ke alasannya memilih jaringan sosial dan platform video musik ini.

Kebetulan, di November 2020 ada kompetisi memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diadakan TikTok. Saat itu Edy berada di Sulawesi Tengah. Untuk mengikuti lomba, mau tak mau wajib mengunduh aplikasi. Usai lomba, dia me-nina bobok-kan konten.

Dari Sulawesi, Edy bertolak ke Jakarta. Iseng-iseng, ia meng-upload lima video, hasilnya tembus tiga juta viewer, booming dan viral. Dampaknya, undangan pertama datang ke acara Obrowlan Manis (Brownis) di Trans TV. Menyusul undangan dari Rizky Billar dan Ruben Onsu.

Kebetulan lagi, Edy menjadi pemenang di dua kompetensi yaitu Hari Lingkungan 2021 dan KPK Film Festival Anti Korupsi. Tampangnya wara-wiri di layar tipi, namanya jadi perbincangan.

Tiba-tiba, dua orang Army atau penggemar Bangtan Boys (BTS), grup vokal pria asal Korea Selatan memesan dua lukisan wajah idolanya yaitu Min Yoon Gi (Suga) dan Kim Soek Jin (Jin).

Edy menyanggupi dengan memberi harga Rp 3 juta untuk satu lukisan dan memposting video pembuatannya yang seketika viral mencapai 2,5 juta penonton.

Sempat mendapat hujatan netizen yang menuding Edy menyindir dan menghina idola mereka karena melukisnya menggunakan sampah.

Netizen lain tak diam, begitu juga Edy, ia membuat video klarifikasi yang ditonton 10 juta orang dalam satu hari penayangan. Mulai dari sini, pesanan lukisannya membludak mulai kartunis, selebritas sampai orang-orang terkenal luar dan dalam negeri.

Edy mengaku tidak ada kesulitan menggambar dua personel boyband beraliran hip-hop ini.

Justru, kesulitan terbesar saat mengumpulkan kresek karena perlu kesiapan mental yaitu harus siap menerima usiran, hinaan dan direndahkan.

Pria berambut panjang ini memilih mengerjakan sendiri plastik-plastik yang dibutuhkannya dari tempat-tempat pembuangan sampah, parit, selokan yang bau, kotor dan menjijikkan.

"Pertama karena aku suka. Kedua, ini tugas ku. Tapi kalau di Indonesia, lebih keren yang membuang sampah sembarang ketimbang yang mengumpulkan sampah," katanya.

Ingatan tentang Tanah Karo dan Medan

Ditanya mengapa tidak berkarya di tanah kelahiran, Edy bilang, malah di Tanah Karo yang susah. Dirinya merasa tidak pernah mendapat kesempatan.

Perasaan ini dialaminya karena ia mengawali aktivitasnya sebagai pendiri tim pencari dan penyelamat yang dikenal dengan SAR Karo Highland.

"Entah kapanlah bisa membuat sesuatu di kampung sendiri," ujar Edy.

Perasaan-perasaan yang berkecamuk inilah yang membuat kakinya melangkah meninggalkan tempat masa kecil. Pikirannya saat itu, ia masih muda, masih mencari jati diri.

"Namanya pelukis di Kota Medan saat itu adalah "nothing", gak ada harganya, gak ada apa-apa, cuma dianggap tukang gambar. Orang lebih suka menyuruh kita menggambar di tembok rumahnya," suaranya terbawa emosi.

Belum lama berlalu, dia mengirim pesan singkat kepada kepala desanya, bertanya apa kontribusi yang dapat diberikan. Tawarannya tidak mendapat jawaban, hanya dibaca saja.

Ia merasa sangat kesulitan untuk membuat suatu di kampungnya sendiri, tidak pernah mendapat jalan walau ditawarkan.

Edy mengambil contoh Festival Bunga dan Buah yang rutin digelar setiap tahun sebelum pandemi Covid-19, tetap belum terbuka jalan untuknya membangun kampung.

Usai berkomunikasi dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno beberapa hari lalu, Edy mengajak kawan-kawannya untuk bersinergi meningkatkan pariwisata di daerah.

Lagi-lagi tidak ada yang menjawab, sampai kepikiran bahwa dirinya tidak laku di tempat asalnya. Muncul asumsi kalau tak mudah mengubah kebiasaan dan karakter Orang Karo. Ini hal yang paling fatal, disusul dengan politik-politik yang tidak jelas.

Edy menyampaikan hal sederhana yang bisa dimulai dari meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk.

Dia mulai sadar memperbaiki alam karena tanpa alam kita tidak akan bisa apa-apa. Kalau semua sudah terdampak bencana, mau tinggal di mana, tanyanya, sebentar lagi mungkin akan tidur di atas sampah kalau tidak mampu mengolahnya.

"Semua objek wisata sekarang penuh sampah, ini yang kami bahas kemarin dengan Pak Sandiaga Uno. Kreativitas tanpa alat pendukung mustahil. Kita harus bersinergi antara pemerintah dan masyarakat. Saya sampaikan begitu karena powerful power itu ada di pemerintah yang bisa menyediakan apa yang diperlukan orang-orang kreatif untuk mengolah sampah ini. Bencana ini tidak semakin kecil, jangan sampai alam yang menegur, baru kita sadar," ungkapnya dengan intonasi suara meninggi.

Pertanyaan terakhir dilontarkan, kapan pulang? Edy menarik nafas.

Katanya ini pertanyaan yang paling susah dijawab.

Beberapa waktu lalu, Edy sempat berencana untuk benar-benar menetap di Medan. Kenapa Kota Medan? Karena ia sudah tidak mempunyai tanah lagi di Tanah Karo.

Rumahnya di Stabat, Kecamatan Sicanggang, Kabupaten Langkat. Dia memilih tanah Melayu ini gara-gara hobi mengail ikan. Ia membeli tanah, membudidayakan ikan, udang dan beternak.

"Kalau pulang, ya ke Stabat, tidak ke Berastagi lagi. Sudah 20 tahun lebih aku di luar, masih bertanya-tanya apa kontribusi ku untuk kampung sendiri," kata pemilik KTP Kabupaten Buol ini.

Soal KTP-nya, ada cerita menarik. Setiap berpindah domisili, Edy langsung mengurus administrasi kependudukan. Pasalnya, setiap melakukan kegiatan di daerah orang, terkesan dianggap lancang karena ada yang lebih pantas mengerjakannya.

"Hei, di sini juga ada pemerintahan, kenapa kamu yang berbuat? Kamu siapa? Padahal musuh sebenarnya adalah pemerintah, makanya harus menyelamatkan hal-hal yang sensitif ini," imbuhnya.

Edy mengawali aktivitasnya dengan kesakitan dan tudingan, jauh dari jangkauan media. Ketika masuk ke desa orang, sering dikira membawa muatan-muatan politik, dikatai teroris, bahkan ISIS.

Saat di Buol, ia hampir terbunuh sewaktu mendatangi kawasan pesisir. Dia mendapat mandat mewakili Sulawesi untuk berbicara dengan mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pujiastuti soal tangkapan nelayan tradisional terus berkurang akibat pukat cantrang, bom atau potasium.

Baca juga: Banjir di Rokan Hulu Sisakan Lumpur dan Sampah Plastik, Anggota TNI dan Polri Diterjunkan Bantu Pembersihan

Usai pertemuan, Edy diberi nomor ponsel Susi untuk berkoordinasi. Tugas yang diemban adalah mendokumentasikan aktivitas-aktifitas ilegal yang terjadi di laut.

Edy menggalang gerakan penyelamatan terumbu karang dan mengumpulkan sampah yang memenuhi laut. Rupanya, ada dinas yang tidak suka kinerjanya, menyuruh preman menghabisi nyawa. Saat sedang asyik mengumpulkan sampah di tengah laut, kapal yang cuma berisi Edy dan seorang temannya dicegat. Sigap, Edy mengirim tanda bahaya yang diterima kapal patroli Angkatan Laut.

"Itulah yang menyelamatkan kami... Selama 21 tahun ini, 11 kali aku dijemput polisi, menginap semalam atau dua malam di sel. Membuat perbaikan di Indonesia tidak mudah," ucapnya mengakhiri percakapan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hendak Selundupkan Sabu ke Kendari, Seorang Pria Ditangkap di Bandara KNIA

Hendak Selundupkan Sabu ke Kendari, Seorang Pria Ditangkap di Bandara KNIA

Medan
2.801 Kursi di USU Diperebutkan 37.169 Peserta UTBK-SNBT

2.801 Kursi di USU Diperebutkan 37.169 Peserta UTBK-SNBT

Medan
Bandara Silangit Ternyata Sudah Tak Layani Penerbangan Internasional sejak Pandemi Covid-19

Bandara Silangit Ternyata Sudah Tak Layani Penerbangan Internasional sejak Pandemi Covid-19

Medan
Status Internasional Bandara Silangit Dicabut, Ini Dampaknya bagi Danau Toba

Status Internasional Bandara Silangit Dicabut, Ini Dampaknya bagi Danau Toba

Medan
Prakiraan Cuaca Medan Hari Ini Selasa 30 April 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Lebat

Prakiraan Cuaca Medan Hari Ini Selasa 30 April 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Lebat

Medan
Anggota Polda Sumut Pelaku KDRT Istrinya yang Sedang Hamil Jadi Tersangka

Anggota Polda Sumut Pelaku KDRT Istrinya yang Sedang Hamil Jadi Tersangka

Medan
Kemenag Sumut: Kesiapan Pemberangkatan Jemaah Haji Sudah 90 Persen

Kemenag Sumut: Kesiapan Pemberangkatan Jemaah Haji Sudah 90 Persen

Medan
Nasdem Buka Pendaftaran Calon Kepala Daerah di Sumut

Nasdem Buka Pendaftaran Calon Kepala Daerah di Sumut

Medan
Perjalanan Kasus Tewasnya Siswa SMK di Nias yang Diduga Dianiaya, Kepsek Jadi Tersangka

Perjalanan Kasus Tewasnya Siswa SMK di Nias yang Diduga Dianiaya, Kepsek Jadi Tersangka

Medan
Bobby Nasution Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Medan

Bobby Nasution Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Medan

Medan
Sederet Fakta Kasus Kepsek Aniaya Siswa SMK di Nias Selatan hingga Tewas

Sederet Fakta Kasus Kepsek Aniaya Siswa SMK di Nias Selatan hingga Tewas

Medan
Prakiraan Cuaca Medan Hari Ini Minggu 28 April 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Berawan

Prakiraan Cuaca Medan Hari Ini Minggu 28 April 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Berawan

Medan
Aksi Pria di Medan Ngaku TNI Berpangkat Mayjen, Palsukan Status Pekerjaan di KTP

Aksi Pria di Medan Ngaku TNI Berpangkat Mayjen, Palsukan Status Pekerjaan di KTP

Medan
Diduga Hendak Merampok Pengendara Mobil di Sumut, 6 Oknum 'Debt Collector' Ditangkap

Diduga Hendak Merampok Pengendara Mobil di Sumut, 6 Oknum "Debt Collector" Ditangkap

Medan
Soal Kansnya Lawan Edy Rahmayadi di Pilkada Sumut, Ijeck: Kita Bersaing secara Sehat

Soal Kansnya Lawan Edy Rahmayadi di Pilkada Sumut, Ijeck: Kita Bersaing secara Sehat

Medan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com