KOMPAS.com - Tradisi lompat batu disebut hombo atau fahombo dilakukan suku Nias, Provinsi Sumatera Utara. Tradisi ini hanya dilakukan oleh laki-laki.
Tradisi ini bisa ditemukan Desa Bawomataluo. Desa adat di Kabupaten Nias Selatan yang kental dengan Tradisi Lompat Batu.
Bawomataluo dalam bahasa Nias berarti bukit matahari. Penamaan desa tersebut sesuai dengan nama letaknya yang berada di atas bukit dengan ketinggian 324 meter di atas permukaan laut. Desa ini telah dibangun berabad-abad yang lalu.
Tradisi Lompat Batu biasanya dilakukan para pemuda dengan cara melompati tumpukan batu setinggi 2 meter untuk menunjukkan bahwa mereka pantas dianggap dewasa secara fisik.
Selain ditampilkan secara adat, tradisi lompat batu juga menjadi pertunjukkan menarik, khususnya bagi para wisatawan yang datang ke sana.
Baca juga: Tradisi Lompat Batu Bawomataluo, Persiapan sebelum Perang
Kabupaten Nias Selatan mempunyai luass wilayah 1.825,2 km2. Wilayahnya berada di bagian barat pulau Sumatera dengan jarak kurang lebih 92 mil dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah.
Ibu kota Nias Selatan adalah Teluk Dalam yang berkedudukan di pulau Nias.
Tradisi Lompat Batu telah berlangsung berabad-abad yang lalu. Tradisi dilestarikan bersama budaya megalitikum di pulau seluas 5.625 km2 yang berpenduduk 700.000 jiwa dan di kelilingi Samudera Hindia.
Tradisi Fahombo diwariskan secara turun-temurun pada anak laki-laki. Namun, tidak semua anak laki-laki sanggup melakukan tradisi ini, meskipun mereka telah dilatih sejak kecil.
Masyarakat Nias percaya bahwa selain latihan ada unsur magis dari roh leluhur untuk seseorang yang berhasil melompati batu dengan sempurna.
Baca juga: Menjelajah Situs Megalitik di Nias yang Berusia Ribuan Tahun
Awalnya, tradisi lompat batu berasal dari kebiasaan berperang antar desa suku-suku di pulau Nias. Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang perang.
Dahulu, suku-suku di Pulau Nias sering berperang karena terprovokasi oleh rasa dendam, pembatasan tanah, atau masalah perbudakan.
Masing-masing desa lalu membentengi wilayah dengan batu atau bambu setinggi 2 meter. Oleh karena itu, tradisi lompat batu lahir dan dilakukan sebagai sebuah persiapan sebelum berperang.
Para bangsawan dari strata balugu yang memimpin pulau Nias saat itu akan menentukan pantas atau tidaknya seseorang pria Nias menjadi prajurit perang.
Kriterianya, selain memiliki fisik yang kuat, seorang prajurit perang juga menguasai ilmu bela diri dan ilmu-ilmu hitam. Mereka juga harus dapat melompati batu bersusun setinggi 2 meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir.
Pada zaman dulu, atraksi fahombo tidak hanya memberikan kebanggaan bagi pemuda Nias tetapi juga untuk keluarga mereka.
Baca juga: Pulau Asu, Pesona Keindahan dari Nias
Keluarga yang anaknya telah berhasil dalam fahombo akan mengadakan pesta dengan menyembelih beberapa ekor ternak.
Tradisi Lompat Batu sebagai Simbol Budaya Nias
Kini, tradisi lompat batu bukan untuk persiapan perang antar suku atau antar desa tetapi sebagai ritual dan simbol budaya orang Nias.
Tradisi ini menjaddi atraksi budaya untuk mengisi acara yang biasanya ditampilkan bersama atraksi tari perang, yang merupakan saduran dari peperangan di masa lampau.
Namun karena, tari perang melibatkan puluhan orang maka atraksi budaya dapat menampilkan lompat batu saja.
Sumber: kemensos.go.id, kkji.kp3k.kkp.go.id, dan budaya-indonesia.org
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.