Beberapa buruh berstatus buruh harian lepas dan tidak mendapatkan salinan perjanjian kerjanya.
Ada perusahaan juga tidak memberikan slip gaji kepada buruh yang dipekerjakannya.
Selain itu, ada beberapa temuan yang menunjukkan buruh bekerja tanpa alat pelindung diri, alat kerja tidak lengkap dan upah di bawah upah minimum kabupaten karena mereka dipekerjakan 20 hari dalam satu bulan.
"Selain itu, kesulitan kita adalah mungkin karakter dari manajemen juga tidak bisa melakukan upaya perubahan. Ini menjadi tantangan tersendiri karena memang sistem kerja yang dibuat oleh pihak perusahaan itu umumnya memberikan tekanan yang tinggi terhadap buruhnya sehingga buruh kesulitan atau takut memperjuangkan haknya," katanya.
Dikatakannya, sebagai penyumbang devisa ke dua, seharusnya tidak ada lagi persoalan berkaitan dengan hak-hak buruh perkebunan kelapa sawit.
Namun, faktanya sampai saat ini pihaknya harus terus melakukan advokasi dan pendidikan terhadap buruh perkebunan kelapa sawit dan selalu menyuarakan agar pemerintah turut serta memperhatikan kesejahteraan buruh.
Lorent menilai, seharusnya pemerintah membuat undang-undang khusus perlindungan buruh di perkebunan kelapa sawit.
"Karena Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Cipta Kerja tidak mengakomodir sistem kerja dan pengupahan di perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit ini spesialis karena undang-undang tentang undang-undang itu lebih identik untuk buruh di manufaktur atau industri yang menerapkan sistem kerja mengandalkan bantuan mesin. Sementara di perkebunan kelapa sawit itu menggunakan fisik dominan yang membutuhkan kalori lebih banyak," katanya.
Menurutnya, sudah menjadi kewajiban perusahaan kelapa sawit untuk memberi perlindungan dan upah yang layak serta menjamin kesejahteraan buruh.
Tidak hanya sebatas upah yang berdasarkan ketentuan minimum saja, tetapi memperhatikan juga kesejahteraan terhadap keluarga buruh.
"Di mana kita tahu bahwa perkebunan kelapa sawit ini kan berada di jauh daripada pusat pemerintahan, terisolir, sehingga pemerintahan dan perusahaan seharusnya menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung untuk mengakses kesehatan dan pendidikan," katanya.
Lorent menjelaskan, dalam hal upah, beberapa perusahaan kelapa sawit menganggap sudah sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah atau keputusan gubernur.
Padahal, keputusan gubernur menyangkut upah minimum kabupaten itu untuk buruh yang berstatus lajang dan bekerja 0 sampai 1 tahun.
Seharusnya, buruh yang sudah berkeluarga dan bekerja lebih dari satu tahun, tidak lagi menggunakan upah pokok berdasarkan ketentuan UMK.
"Seharusnya perusahaan sudah membuat struktur skala upah yang itu memang diatur di dalam undang-undang. Ini yang belum dilakukan," katanya.
Dengan struktur skala upah, maka penentuanya memperhatikan sesuai dengan kondisi keluarga buruh dan mempertimbangkan beban kerjanya.
Menurutnya, buruh perkebunan kelapa sawit masih jauh dari sejahtera. Bahkan alat kerja dan alat pelindung diri tidak lengkap untuk diberikan kepada pekerjanya saat menjalankan kewajibannya.
Padahal, alat kerja dan alat pelindung diri sangat penting bagi kehidupan pekerja di masa depan.
"Ada temuan kita buruh-buruh yang bekerja di bagian yang berhubungan dengan bahan kimia itu paling rentan terkontaminasi, tetapi kita masih menemukan buruh yang tidak menggunakan APD yang layak," ujar Lorent.
"Saya melihat buruh-buruh tidak terlindungi dengan baik. Ini berkaitan dengan kesehatannya. Ini efeknya berkelanjutan bahwa buruh bekerja tanpa APD dan alat kerja yang baik sehingga di masa tuanya saat dia harusnya menikmati masa pensiunnya dengan pesangon, justru sakit-sakitan. Di situ lingkaran kemiskinan tidak pernah berhenti," katanya.
Lorent menambahkan, masalah lain di perkebunan kelapa sawit adalah tingginya angka putus sekolah.
Di perkebunan kelapa sawit yang menyediakan fasilitas pendidikan, biasanya hanya terbatas SD dan SMP.
Sementara untuk SMA harus keluar sehingga jika anak akan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, harus mengeluarkan biaya tambahan karena daerahnya terisolasi.
Buruh dihadapkan dengan kondisi terbatasnya pendapatan dan tuntutan pendidikan anaknya.
"Karena pendapatan terbatas, akhirnya putus sekolah itu banyak terjadi. Maka itu kita sangat berharap perusahaan dan juga pemerintah betul-betul memperhatikan nasib buruh. Tidak bisa kelapa sawit ini hanya dipandang dari faktor produksi, tapi buruhnya tidak diperhatikan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.