Giri menambahkan, Sumatera Utara termasuk dalam 9 provinsi yang menjadi prioritas rehabilitasi mangrove bersama dengan Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat yang difasilitasi Badan Rehabilitasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Untuk diketahui, Pokja RM bertanggung jawab untuk mengelola dan merehabilitasi ekosistem mangrove di Indonesia.
Pokja rehabilitasi mangrove terdiri dari berbagai instansi pemerintah, lembaga penelitian, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat pesisir yang berkepentingan dengan konservasi dan restorasi mangrove di bawah koordinasi BRGM.
Beberapa waktu lalu, saat diwawancara di Medan, pakar tropical ecology and biodiversity conservation, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Onrizal., PhD mengatakan, berbicara deforestasi mangrove bisa dimulai dari massifnya usaha pertambakan udang dan ikan pada tahun 1970-an.
Usaha pertambakan udang dan ikan itu mulai meredup seiring munculnya penyakit/hama dan sulit dikendalikan bahkan hingga kini.
"Nah setelah tambak, yang menjadi penyebab deforestasi di hutan mangrove ini adalah perkebunan kelapa sawit. Kita bisa lihat sendiri di Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai sampai Labuhanbatu, yang dulunya tambak berubah jadi sawit. Ada juga yang dulunya hutan mangrove, dibabat jadi kebun sawit. Tekanan lainnya adalah arang bakau," katanya.
Onrizal sudah banyak menulis hasil penelitian tentang mangrove selama bertahun-tahun.
Fungsi hutan mangrove sangat banyak dan manfaatnya dirasakan tak hanya manusia tetapi juga bagi keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut.
Banyak biota yang hidupnya tergantung pada kualitas mangrove. Secara ekologis, mangrove ini menjadi pelindung pantai dari abrasi, kemudian menjadi habitat berbagai jenis hewan, serta tempat hidup atau habitat bagi banyak tumbuhan atau flora.
"Kalau rusak, maka kerugian yang dialami tidak bisa dihitung. Dan kita sudah melihat kerusakan itu di mana-mana, siapa yang paling merasakan kerugian, tak hanya nelayan tradisional dan masyarakat sekitar, kita semua pun rugi besar. 2/3 biota perairan itu hidupnya tergantung pada kualitass mangrove," katanya.
Ada beberapa hal penting yang menurutnya harus segera dilakukan. Pertama, hutan mangrove yang tersisa harus dipertahankan dan diperluas. Laju deforestasi harus dihentikan. Pemulihan juga harus dilakukan secara terintegrasi.
Berbagai kajian juga masih harus dilakukan begitu juga dengan kampanye pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.
"Kalau tidak dilakukan, tidak lama lagi kita akan semakin banyak kehilangan. Yang tersisa tinggal sedikit dan kritis," katanya.
Di Desa Sei Siur, seorang nelayan tradisional, Sazali Sinaga (62) berdiri di pinggir alur pasang sambil menyusun bambu kecil di perahunya. Nasi plus lauk ikan sambal, satu termos kecil air panas dan kopi serta gula sudah tersedia untuk bermalam di laut.
Hanya 15 menit dia sempat berada di rumahnya. Sebagian besar waktunya terpaksa dia habiskan di atas perahunya untuk mencari udang, kepiting, ikan yang semakin sulit didapat. Laut semakin tidak ada harapan.