Saat itu Sazali baru tiba di perahu setelah sejenak menjejakkan kaki di rumah menemui istri untuk menyerahkan hasil tangkapan yang sedikit. Bambu-bambu itu untuk jebakan udang yang dipasang saat air pasang.
Faktor usia dan tiadanya mesin di perahu membuatnya hanya bisa melipir di pinggiran. Beberapa tahun terakhir, hasil tangkapannya semakin menurun.
"Hanya 15 menit di rumah selebihnya di laut. Nggak gitu, nggak cukup lah. Sehari semalam aja dapatnya hanya Rp 125 ribuan," katanya.
Dia membandingkan kondisinya beberapa waktu lalu. Tanpa harus menghabiskan waktu sepanjang hari di laut dia bisa mendapatkan Rp 300.000-an dari menjual tangkapan ikan, udang dan kepiting.
Situasinya semakin berubah setelah adanya tambak dan kelapa sawit. Dengan umurnya yang sudah tua dia berharap kepada orang yang lebih muda untuk menyuarakan aspirasi agar ada perhatian lebih terhadap nelayan tradisional seperti dirinya.
"Wak ini sudah tua, umur entah berapa hari lagi. Jadi kalianlah yang muda, uruslah itu (masalah tambak dan sawit), kata dia udah nanti aku ke kantor desa kubilangkan sama kepala desa, hanya gitu aja," katanya.
Sementara warga lain bernama Dedi, dulunya adalah nelayan tradisional. Dia terpaksa beralih profesi menjadi buruh bangunan di Aceh karena hasil tangkapan ikan, udang, kepiting anjlok.
Dia menduga berkurangnya hasil tangkapan tidak lepas dari adanya pembangkit listrik tenaga uap yang beroperasi tak jauh dari wilayah tangkap nelayan tradisional.
"Dulu penghasilan saya alhamdulillah bisa mencukupi untuk dua keluarga saya sama anggota saya kenek lah seperti itu. Jadi semenjak adanya bangunan PLTU, kami ini nelayan kecil ini hancur. Penghasilan kami habis," katanya.
Sebagai nelayan tradisional, dalam satu hari dia dua kali berangkat. Dari pergi pagi pulang menjelang siang, kemudian usai makan siang hingga sore. Dalam sehari, penghasilannya mencapai Rp 1 juta, yang mana Rp 200 ribu diberikan kepada kenek-nya.
"Itu paling sedikit. Sekarang enggak usah kan kita Rp 800 ribu, dapat Rp 50.000 aja udah alhamdulillah. Nnggak usah untuk gaji kenek, untuk kehidupan keluarga sendiri saja gak cukup," katanya.
Baca juga: 60.000 Hektare Lahan Mangrove Sulawesi Selatan Berpotensi Masuk Perdagangan Karbon Dunia
Selama 7 tahun terakhir, dia sudah beralih menjadi buruh bangunan. Lokasi bekerja tak hanya di Medan, Langkat, tetapi sampai ke Aceh. Dia mengaku rindu menjadi nelayan karena dilahirkan dari keluarga yang hidup dari hasil laut. Namun kondisi sekarang memaksanya harus menjadi buruh bangunan, meninggalkan keluarganya selama berbulan-bulan dengan penghasilan yang tidak lebih tinggi dari menjadi nelayan saat itu.
"Saya rindu sekali menjadi nelayan. Bahkan sudah beli usaha (perahu), harganya puluhan juta. Sia-sia karena tangkapannya nggak ada. Sejak tidak jadi nelayan, beralih profesi menjadi kuli bangunan, saya merantau meninggalkan anak istri karena saya memang sudah tak sanggup lagi di Pangkalan Susu ini menjadi nelayan," pungkas dia.
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund - Pulitzer Center.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.