"Sekarang insya Allah karena kita sudah punya nama, boleh dikatakan kalau pesta besar, terutama pesta adat kerap menggunakan jasa kita," ujarnya.
Kini ketimbang soal kebutuhan ekonomi, Bakhsan justru khawatir dengan nasib kesenian gordang sambilan ke depannya. Dia melihat tidak ada upaya serius dari pihak terkait untuk mendokumentasi dan melestarikan seni tradisi ini.
"Yang menjadi khawatir bagaimana ini mengenalkan ke generasi muda, aturannya kan katakanlah dinas harus diajarkan ke sekolah, ke kurikulum. Contoh Jawa Barat sangat bagus bahasa, budaya, masuk di kurikulum diajari guru-gurunya, disiapkan. Kalau Sumut belum sampai ke sana, kalaupun ada belumlah maksimal," katanya.
"Padahal tiap dekade ada bagian kebudayaan hilang tidak terjaga, tidak ada dinas terkait mendokumentasikan secara utuh masing-masing etnik tidak hanya Mandailing saja," tambahnya.
Bila terus dibiarkan, Menurut Bahksan, lambat laun generasi muda akan melupakan identitas budaya aslinya, karena menjamurnya budaya populer. Bakhsan merasakan betul, susahnya mencari anak muda yang berminat menjadi seniman tradisi.
"Mereka lebih fokus ke musik non Indonesia dan itu bagi mereka lebih keren dibanding dengan musik perkusi tradisi,'' ujarnya.
Di sisi lain dia juga melihat kurangnya perhatian pemerintah untuk memperhatikan kehidupan seniman tradisi.
Tak sepeserpun dia pernah menerima donasi dari pemerintah untuk membantu program mempertahankan budaya yang digelutinya. Namun Bakhsan tidak mempersoalkannya. Baginya menjaga benteng seni tradisi adalah tanggung jawab moralnya sebagai seniman.
"Jadi (alat seni) kita gordang untuk perlengkapan di rumah ini ratusan juta harganya, tapi kita nggak berhitunglah, karena berhubungan dengan budaya kita sendiri," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah juga harus jemput bola dalam memfasilitasi kebutuhan seniman, terutama dalam memberi ruang kreasi. Seharusnya mereka merangkul para seniman layaknya seorang sahabat.
"Beberapa kali kita diminta mengusulkan diri mendapatkan bantuan atau penghargaan, kalau menurut saya itu kurang tepat, pemerintah yang harus turun bukan kita yang mengusulkan diri," tandasnya.
Walaupun tidak mendapat sokongan pemerintah, Bakhsan tetap berkomitmen menjadi garda terdepan dalam melestarikan gordang, maupun seni tradisi lainnya. 12 buku mengenai seni tradisi Mandailing Natal, telah tulis untuk generasi muda.
Bahkan dia juga yang mensuplainya secara gratis ke sekolah sekolah terutama di Kabupaten Mandailing Natal.
Judul bukunya, Kamus Mandailing Indionesia (2019), Kearifan Mandailing Dalam Tradisi Lisan (2019), Panduan Markobar, Novel Mandailing ''Mangirurut'' dan lain-lain.
Dia juga memanfaatkan platform digital seperti YouTube dan Instagram, untuk membuat konten tutorial seni tradisi Mandailing.
"Saya ingin sebelum tutup mata, saya sudah banyak membuat video-video tutorial budaya. Biar orang dari jauh bisa juga belajar dan menjadi kenang-kenangan untuk generasi selanjutnya," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.