Selama ini, kata Erlina, pemahaman masyarakat terhadap anak disabilitas tergolong rendah, sehingga perlu edukasi dan mendorong para orangtua saling mendukung satu sama lain.
Pada Kamis dalam setiap pekannya, RRABK menjadwalkan kegiatan untuk fisioterapi gratis bagi anak disabilitas.
Pagi sekitar pukul 07.00 WIB anak anak dan orang tua pun ramai mendatangi tempat itu.
“Kegiatan hanya fisioterapi, edukasi, support system setiap Kamis. Dan tiap satu bulan sekali digelar silaturahmi. Di situ datang para orang tua dari daerah lain,” katanya.
Baca juga: Kisah David, Disabilitas Rungu Berprestasi di SLBN 1 Sumbawa
Hanya saja karena kondisi pembiayaan, jumlah anak yang harus diterapi setiap sekali seminggu berkurang karena kekurangan jumlah relawan.
“Paling aktif 40 ke 60 orang anak karena kita kekurangan tenaga Terapis. Dulu ada 11 orang volunteer sekarang jadi 2 orang karena tidak ada pembiayaan. Di sini semua relawan, termasuk pengurusnya,” kata Ibu satu anak ini.
Di tempat yang sama, seorang ibu dari anak disabilitas di RRABK, Etty Purba, mengakui pengetahuan masyarakat terhadap disabilitas masih rendah, sehingga memunculkan stigma hingga penolakan dari keluarga terdekat maupun khalayak umum.
Ia mengatakan ada anak disabilitas yang ditelantarkan karena kedua orang tuanya bercerai. Stigma anak disabilitas masih melekat karena rendahnya pemahaman masyarakat.
“Kadang kalau di angkot, duduk sama, ditanya ‘Anaknya kenapa?’ Kadang kesenggol kakinya, ‘Iss..’ gitu. Jadi ngerasa, kok gitu kalilah ya. Jadi pemahaman orang terhadap anak disabilitas masih minim di sini,” ucapnya.
Baca juga: Kisah Yuli Yanika Bangun SD Inklusi, Menyemai Kesetaraan Pendidikan bagi Anak Disabilitas
Suatu kali, Ibu empat anak itu pernah membawa putra sulungnya ke luar rumah. Ia pernah mendengar jika anaknya korban mistis.
“Dulu pun saya kalau membawa anak keluar, rasanya saya besar kepala. Nanti ditanya orang, ‘Anakmu kenapa?’ Nanti dijelaskan, dibilang karena kena mahluk halus atau diguna-guna orang,” ungkapnya.