PEMATANGSIANTAR, KOMPAS.com - Sri Sultan Saragih (49) terjun ke dunia seni pertunjukan teater tradisional Simalungun dan koreografi berawal keikutsertaannya di teater di kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Kala itu, ingatannya seakan membawanya ke masa kecil ketika menyaksikan Gonrang Simalungun yang dipentaskan oleh para seniman masa lalu.
Tradisi hingga karya seni para seniman Simalungun tempo dulu kini nyaris punah dan ditinggalkan. Beranjak dari itu, Sultan memutuskan untuk menggali dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.
“Mulai berkesenian sejak ikut teater di kampus. Tapi sebelum itu sudah terbiasa dengan kesenian, karena ayah saya dulu sempat membuka sanggar, jadi ingatan itu kembali lagi,” kata Sultan kepada Kompas.com, Senin (24/6/2024).
Baca juga: Melihat Perlawanan Ismet Raja Tengah Malam Lewat Jalur Kesenian
Sekembalinya ke Kota Pematangsiantar, alumni Fakultas Geografi UGM ini mulai menggali dan mencatatkan sejumlah situs peninggalan budaya Simalungun dengan melakukan perjalanan secara mandiri.
“Ada situs seperti patung Pangulubalang, Batu Galang, Goa goa dan relief relief Simalungun,” kata dia yang ditemui di Sanggar Rayantara Jalan Kesatria, Kelurahan Siopat Suhu, Siantar Timur, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara.
Pelatihan Gonrang Sidua dua berlangsung di Sanggar Rayantara, untuk mengajarkan kembali alat musik tradisional simalungun yang sudah hampir punah. Untuk menyangupinya, dia mengajak seniman Simalungun angkatan lama yang dikenalnya selama perjalanan mendokumentasikan situs.
Dia bertemu Raminah Garingging yang merupakan seniman tari, Rosul Damanik pemain alat musik tiup (sarune), dan Arisden Purba Sidamanik alat musik dawai (arbab).
“Pada saat itu saya yang menari. Karena musik itu karya seni Simalungun yang sudah hampir punah,” ucap dia.
Pertemuan Sultan dan ketiga seniman tua itu merupakan titik tolak berdirinya sebuah sanggar bernama Sanggar Rayantara.
Awal mendirikan sanggar ini menjadi tantangan berat di tengah cemoohan orang, dan minimnya dukungan finansial.
“Pertama menjalani ada perasaan saling tolak menolak. Karena berkesenian ini kan tidak ada duitnya. Lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan, nggak sesuai lah,” kata dia.
Baca juga: Gejog Lesung, Kesenian Tradisional yang Jadi Ekspresi Kebahagiaan Masyarakat Agraris
Dia mengakui, banyak mendapat cibiran yang menyebut kreativitasnya merusak seni Simalungun. Di sisi lain, dia harus memikirkan biaya kostum untuk pementasan dan sekretariat sanggar.
“Ketika kita membuat pertunjukan yang berbeda, terkadang kita mendapat ‘judge’. ‘Itu (pementasan) bukan Simalungun. Itu merusak seni Simalungun’. Banyak yang melemahkan. Kalau pun salah, kan itu biasa untuk mendapat yang terbaik,” kata dia lagi.
Menurut dia, hal itu dikarenakan seniman Simalungun ada yang belum bersedia membuka diri berkolaborasi dengan seniman rumpun Batak lain misalnya Toba, Karo, Pakpak, maupun Dairi.
“Jadi kalau nggak kuat mental, kita bisa surut. Banyak yang nggak terima dengan apa yang kita kerjakan. Kita dicecar juga dari medsos,” ucap dia.
Sri Sultan Saragih bersama Raminah Garingging mulai melatih para generasi muda untuk berkesenian. Mereka juga mendatangkan seniman musik Simalungun dari daerah pedalaman.
Saat ini ada 12 penari yang sudah terampil, tiga yang terampil dalam musik dan enam orang lagi sedang berlatih.
Sanggar Rayantara juga terbuka bagi siapa pun yang ingin berkesenian, khusus jam belajar pada Sabtu dan Minggu.
“Kalau dapat income dari aktivitas Sanggar ini belum sama sekali. Kalau ada orderan menari kadang sekali sebulan. Itu pun biaya untuk uang saku anak anak."
"Kadang buat proposal untuk menutup sebagian kebutuhan sanggar,” ucapnya.
Selain mendapat orderan, Sanggar Rayantara ikut pertunjukan seni tingkat nasional semisal Festival Keraton dan pertunjukan seni di tingkat regional.
Baca juga: Menjaga Kesenian Sulsel Ala Mahasiswa di Era Digital
Baru-baru ini, Sri Sultan dan Sanggar Rayantara mementaskan Tortor Nanggurdaha dan Raja Bongkala karya Raminah Garingging pada seremonial Apeksi di Pekanbaru, Riau, Jumat 4 Mei 2024.
Sanggar Rayantara, kata Sultan, menolak untuk ‘ngamen’ agar mendapat uang. Itu merupakan prinsip yang dipegang teguh sampai saat ini.
“Kalau kesan selama berkesian ini, chemistry panggung itu adalah kepuasaan batin. Bisa3-5 hari kita nggak lupa dengan suasana panggung itu. Perasaan kita berpendar pendar,” ucap Sultan.
Foto: Sri Sultan Saragih dan Raminah Garingging saat melatih anak anak tari di Sanggar Rayantara, Jalan Kesatria, Kelurahan Siopat Suhu, Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Melalui jejaring dengan para seniman tempo dulu, dia mulai memperkenalkan satu per satu karya seni itu kepada generasi muda. Salah satunya adalah memperkenalkan Gonrang Sidua dua.
Alat musik gendang ini telah tergantikan dengan Gonrang sipitu pitu maupun keyboard, sehingga nyaris tidak pernah ditampilkan pada acara adat istiadat Simalungun.
Untuk itu, kata Sultan, Sanggar Rayantara mendatangkan Jelasmen Saragih (62) seorang pelestari Huda Huda dari Durian Baggal, Simalungun, untuk melatih anak anak di Sanggar.
Tak hanya Gonrang Sidua dua, ada alat musik lain yakni Sarune yang merupakan alat tiup dan arbab -alat musik berdawai. Kedua alat musik ini tergolong jarang digunakan, akibat orang yang mampu memainkannya sedikit sekali.
“Seperti arbab. Ini alat musik gesek dengan dua senar. Dulu kita membuat pertunjukan nggak sempat merekam karena kita nggak punya duit. Sekarang orang yang memainkannya sudah meninggal dunia,” ujar Sri Sultan.
Baca juga: Mengintip Uniknya Cara Mengenalkan Kesenian dan Budaya Sunda ke Generasi Muda
Selain itu, jenis tarian kesenian masa lampau yaitu Tortor Tukkot Malehat tergolong punah lantaran tidak semua mampu memainkan karena terhubung dengan ritual leluhur.
“Toping toping Huda huda sudah punah, tradisi adat kematian yang sudah tidak diwarisi lagi masa kini,” imbuhnya.
Dikatakan Sri Sultan, upaya penyelamatan karya seni maupun tradisi masa lalu itu sudah terbangun lewat jejaring dengan para seniman asli dari daerah.
Namun terkadang kendala dana, sebab mendatangkan para seniman itu perlu biaya.
Pernah suatu kali ia bertemu dengan penenun duduk khusus corak Bulang Sulappei. Penenun itu bersedia melatih, namun Sultan tak berani menyanggupinya.
“Bertenun sambil lesehan itu tinggal satu orang yang mengerjakan. Ada satu atau dua orang lagi yang bisa tapi sudah nggak mau lagi karena lebih memilih berladang,” katanya.
“Dia mau mengajarkan cara bertenun di Sanggar ini, tapi aku mikir bagaimana nanti uang makannya, tempat tinggalnya dan tidak mungkin tak ada uang sakunya,” sambungnya.
Berkaca dari situasi demikian, Sri Sultan Saragih berharap kepada Pemerintah agar serius untuk menyelamatkan kesenian Simalungun secara berkelanjutan.
Hal itu bisa dilakukan dengan memberdayakan seniman seniman daerah yang hampir terlupakan. Apalagi, Simalungun merupakan suku asli di Kota Pematangsiantar.
“Pemerintah harus melihat mana yang prioritas untuk bermitra program, untuk menyelamatkan kebudayaan secara berkelanjutan,” kata dia.
Foto: Sri Sultan Saragih saat pementasan Tortor Nanggur Daha dan Raja Bongkala karya Raminah Garingging pada seremonial Apeksi di Pekanbaru, Riau, Jumat 4 Mei 2024. |Belum lama ini, Dinas Pariwisata Kota Pematangsiantar mengadakan soft opening Festival Seni Budaya Temu Tengah Kota diadakan di depan Kantor Dinas Arsip dan Perpustakaan, Jalan Merdeka, Pematangsiantar, Sabtu (22/6/2024).
Kepala Dinas Pariwisata Kota Pematangsiantar M Hamam Soleh dalam keterangan tertulisnya mengatakan, festival ini terinspirasi dari beberapa kota yang sudah mengadakan wahana bagi masyarakat dan seniman untuk berkreasi.
Baca juga: Bangsal Srimanganti, Tempat Pementasan Kesenian di Keraton Yogyakarta
Dia melanjutkan, festival ini merupakan langkah awal dan akan menjadi gelaran setiap pekannya.
Hamam juga mengutarakan, kegiatan ini memiliki tiga sasaran. Pertama, menjadi wadah bagi komunitas generasi muda dan seniman, baik tarian, penyanyi, band, dan puisi.
Kedua, dengan kegiatan ini para pedagang diharapkan mampu berkolaborasi maupun mengembangkan usahanya.
"Terakhir, sasaran kita agar masyarakat punya tempat untuk hiburan yang murah meriah. Semoga ini bisa kami melaksanakan dengan sebaik-baiknya," sebut Hamam.
Dia juga berharap tempat itu bisa menjadi milik bersama. Sehingga ketika pengunjung datang ke Kota Pematangsiantar, dapat menikmati kreativitas para pelaku seni dari Pematangsiantar.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang