MEDAN, KOMPAS.com – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyoroti fenomena semburan lumpur panas yang terjadi di sejumlah titik di Desa Roburan Dolok, Kecamatan Panyabungan Selatan, Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Mereka menilai, kejadian ini merupakan dampak dari buruknya praktik eksploitasi panas bumi oleh PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP).
Direktur Walhi Sumut, Rianda Purba, mengungkapkan bahwa semburan lumpur panas tersebut bukan fenomena baru.
Berdasarkan informasi yang mereka peroleh, fenomena ini sudah terjadi selama dua tahun terakhir.
“Berdasar informasi yang diperoleh Walhi Sumut, ternyata sudah dua tahun bermunculan titik lumpur dan air panas baru di Desa Roburan Dolok, Kecamatan Panyabungan Selatan,” ujar Rianda dalam keterangan tertulisnya, Selasa (29/4/2025).
Baca juga: Semburan Lumpur Panas di Mandailing Natal Meluas hingga 21 Titik, Hancurkan Sumber Air Warga
Menurut keterangan warga yang dihimpun Walhi, jarak semburan lumpur tersebut hanya sekitar 10 hingga 15 meter dari lokasi pengeboran. Selain menimbulkan bau menyengat, semburan ini juga menyebabkan kerusakan tanaman seperti pohon karet.
“Belum lagi warga empat desa di sekitar aliran Sungai Aek Roburan kerap mengeluhkan buruknya kualitas air, dengan bau menyengat, dan mengganggu produktivitas pertanian padi mereka. Kasus ini menambah daftar panjang dampak buruk eksploitasi geothermal yang dilakukan oleh PT SMGP,” ujarnya.
Rianda juga mengingatkan kembali peristiwa keracunan massal tahun 2024 yang menurut hasil investigasi Walhi disebabkan oleh aktivitas PT SMGP. Ia juga menyebutkan kejadian serupa pada tahun 2021 yang menewaskan lima orang warga.
“Belum lagi kejadian keracunan 2021 silam, yang menewaskan 5 orang warga,” katanya.
Lebih lanjut, Rianda mengutip temuan Komnas HAM yang menunjukkan adanya dampak kesehatan jangka panjang yang dialami warga Desa Sibangor dan Sibangor Tonga, yang berjarak sekitar 500–700 meter dari area proyek PT SMGP.
“Setiap tahun (penduduknya) selalu mencium bau menyengat dan setelah itu warga merasa pusing, mual, dan lain-lain. Kemudian, pihak rumah sakit setiap tahun selalu mendapatkan pasien dengan keluhan yang sama,” kata Rianda.
“Warga tidak mengetahui bau yang mereka hirup itu, namun warga merasa pusing, mual, dan lain-lain setelah mencium bau tersebut,” tambahnya.
Walhi juga menyoroti kurangnya edukasi dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, mengenai risiko geothermal serta minimnya infrastruktur keselamatan di wilayah terdampak.
“Seperti (misalnya) bahaya geothermal, tindakan yang harus dilakukan jika terjadi keadaan darurat,” katanya.
“Warga mengalami trauma akibat kebocoran gas tahun 2021 dan bau yang muncul mengakibatkan warga menjadi pusing, mual, pingsan, bahkan meninggal dunia,” tambahnya.