TAPANULI SELATAN, KOMPAS.com- Suara nyaring dari mesin pemotong kayu terdengar jelas saat mobil yang kami tumpangi tiba di depan sebuah workshop kayu bernama Sarop Do Mulana.
“Silakan masuk mas dan mba, kawan-kawan media dari Jakarta. Maaf berisik,” sambut Sekretaris Koperasi Sarop Do Mulana Julfikri Harahap (38) sambil memotong sebuah palet kayu, Rabu (5/6/2024).
Fikri, sapaan akrab Julfikri, kemudian mengajak kami berbincang seraya menyelesaikan dua potongan palet kayu bekas yang berasal dari perusahaan tambang emas bernama PT Agincourt Resources (PTAR).
Baca juga: Tak Hanya Ulos, Tapanuli Selatan Juga Punya 13 Motif Batik Kreasi Ibu-ibu
Ia bercerita, Sarop Do Mulana boleh dibilang adalah perserikatan yang terdiri dari orang-orang yang peduli akan sampah.
Sarop Do Mulana mulai muncul ke permukaan pada 2016 ketika sampah di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) yang ada di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tak terkelola dengan baik.
“Jadi Sarop Do Mulana itu diambil dari bahasa Batak yang artinya berawal dari sampah. Kami berdiri karena karena kami prihatin melihat sampah yang ada di TPST,” tutur dia.
Penampakan limbah palet kayu dari perusahaan tambang emas bernama PT Agincourt Resources yang disulap menjadi furnitur oleh Koperasi Sarop Do Mulana yang terletak di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Rabu (5/6/2024).Fikri bercerita, seluruh sampah yang ditampung di TPST tak pernah dikelola dengan baik.
Namanya tempat pengolahan, lanjut dia, seharusnya ada proses pemilahan atau penguraian sampah.
Baca juga: Kisah Warga Desa Garoga Jaga Sungai lewat Lubuk Larangan
Namun, dari hari ke hari, tahun ke tahun, sampah yang ada di TPST disebut kian menggunung.
“Karena kami prihatin, kami bergerak memilah sampah yang bisa dimanfaatkan. Terutama sampah dari PTAR. Karena sampah dari PTAR dikirim berdasarkan jenisnya. Baik sampah organik maupun anorganik,” ungkap dia.