Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Kebahagiaan Sunaryo, Lestarikan Reog Ponorogo di Deli Serdang

Kompas.com - 28/06/2024, 07:22 WIB
Goklas Wisely ,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Siang itu, Sunaryo sedang duduk sambil bertelanjang dada di teras belakang rumah, sambil menatap ke arah kandang lembu miliknya.

Begitu tahu ada Kompas.com yang mencarinya, dia pun bergegas masuk ke dalam rumah, dan kembali keluar dengan memakai kaus hitam bergambar reog ponorogo.

Di atas tempat duduk bambu di Jalan Perhubungan, Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, pria yang ramah senyum ini pun menceritakan perjalanannya sebagai seniman Reog Ponorogo.

Lelaki 48 tahun ini sudah menekuni reog ponorogo sejak tahun 1995. Ibarat pepatah, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya, minat Sunaryo pun muncul dari sosok ayahnya.

Baca juga: Mengenal Andi Pradinata, Seniman Disabilitas yang Multitalenta

"Ayah juga seniman reog. Kalau darahnya Ponorogo, itu pasti suka reog. Keturunanlah istilahnya," ucap pria bertubuh kekar ini.

Nama ayahnya, Supandi. Pria yang sudah memasuki usai 84 tahun itu memang dikenal warga sekitar sebagai salah satu tokoh budaya di Desa Kolam, atau akrab dinamai Kampung Kolam.

Pada tahun 1960-an, pria yang diberi gelar Mbah Pandi ini merantau bersama keluarganya dari Pulau Jawa ke Sumatera, di Desa Kolam. Mereka mengadu nasib dengan menjalankan beragam usaha.

Mereka menetap di Kampung Kolam hingga saat ini. Mbah Pandi memang menyukai beragam kesenian tradisional Jawa sejak kecil, utamanya seni reog ponorogo.

Kecintaan itu pula yang menuntun dia untuk menghidupkan kesenian khas kampung halamannya itu di Kampung Kolam.

Tak tanggung-tanggung, demi mewujudkan minatnya itu Mbah Pandi menjual harta benda untuk biaya pergi ke Jawa, dan membeli peralatan reog.

Kemudian, peralatan itu dibawanya ke Kampung Kolam agar dapat memperkenalkannya kepada warga lain. Harga peralatan itu terbilang mahal di masanya, mencapai angka Rp 50 juta.

Beruntung, peralatan itu mampu bertahan cukup lama. Bahkan, sampai saat ini masih dipakai Sunaryo untuk menggelar pertunjukan.

Baca juga: Melihat Perlawanan Ismet Raja Tengah Malam Lewat Jalur Kesenian

 

Perjuangan dan kecintaan Mbah Pandi itu pula yang menjadi inspirasi bagi Sunaryo untuk melestarikan seni reog ponorogo di Kampung Kolam.

"Jadi saya ini generasi kedua seniman reog ponorogo di sini. Tentu saya ingin menjaga agar reog ini tetap menjadi salah satu seni yang identik dengan Kampung Kolam," sebut Sunaryo.

 

Bukan mencari makan tapi kebahagiaan

Sunaryo saat ditemui di rumahnya, di Jalan Perhubungan, Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang pada Minggu (23/6/2024) siang. KOMPAS.com/GOKLAS WISELY Sunaryo saat ditemui di rumahnya, di Jalan Perhubungan, Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang pada Minggu (23/6/2024) siang.
Sejak remaja, Sunaryo sudah melatih diri untuk menjadi seniman reog. Masa mudanya dihabiskan untuk belajar di Sanggar Tunas Muda yang didirikan ayahnya pada tahun 1966.

Sanggar yang berlokasi di samping kediamannya ini dibangun untuk menumbuhkan tunas-tunas muda seniman reog ponorogo di Sumatera.

Hal itu pula yang diemban Sunaryo dalam melanjutkan kepemimpinan ayahnya. Sudah selama 29 tahun Sunaryo menjalani hidup sebagai seniman reog.

Ia tampil di beragam acara dan kerap kali berperan sebagai singo barong, penari berkepala macan dengan hiasan bulu merak. Kerap kali, penonton mengira tubuhnya dimasuki roh atau kesurupan saat menari.

Padahal, apa yang dilakukannya murni hasil dari latihan dan kekuatan fisik.

Menurut dia, tantangan menjadi singo barong bukan soal hal mistisnya. Melainkan bagaimana menahan topeng serta hiasan yang berat itu dengan bertumpu pada kekuatan gigi.

"Kalau klenik itu sudah tidak ada lagi, kalau dulu iya lah," ujar Sunaryo.

Baca juga: Sri Sultan Saragih, Menggali Kesenian Simalungun yang Nyaris Punah

Meski membutuhkan fisik yang kuat dan memainkan tarian yang rumit, ia mengaku pendapatan menjadi seniman reog sangat kecil. Dipastikan, tak akan dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.

"Biasanya sekali pertunjukan itu dibayar Rp 3,5 juta, kalau lokasinya di daerah sini. Dari situ aja, saya paling dapat Rp 250 ribu, karena yang tampil ada 20 orang," ucap Sunaryo.

Belum lagi, dalam sebulan paling hanya ada satu panggilan untuk pertunjukan.

Belakangan, Sunaryo bersama kawan-kawannya di sanggar sering tampil di acara pernikahan dan sesekali di acara resmi yang dihadiri pejabat Negara.

"Gak bisa memang kalau cari makan dari sini. Tapi saya bahagia menjadi seniman reog ini, ya artinya untuk mencari kebahagiaan justru, gimana ya, susah digambarkan dengan kata-kata," ungkap dia.

Oleh karena itu, Sunaryo bertahan hidup justru dari sumber pendapatan yang lain. Mulai dari berternak lembu, menjadi Badan Pengawas Desa (BPD), hingga berjualan mi ayam bakso bersama istri di halaman depan rumahnya.

 

Harapan kepada pemangku kebijakan

Sunaryo saat ditemui di rumahnya, di Jalan Perhubungan, Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang pada Minggu (23/6/2024) siang. KOMPAS.com/GOKLAS WISELY Sunaryo saat ditemui di rumahnya, di Jalan Perhubungan, Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang pada Minggu (23/6/2024) siang.
Kini, Sunaryo sedang dihadapkan pada persoalan pemeliharaan peralatan reognya.

Dijelaskan, kondisi topeng singo barong yang dilapisi kulit harimau milik ayahnya telah terkelupas dan mulai tampak kurang menarik.

Selain itu, kondisi bulu merak yang ada di mahkota singo barong juga terlihat kusam dengan warna yang memudar.

Perhitungan dia, biaya pemeliharaan itu akan memakan biaya besar, mencapai puluhan juta.

Baca juga: Cerita Seniman Reog Ponorogo Berusia 60 Tahun: Berkesenian Tak Perlu Pamrih

Sebetulnya ia telah mencoba menyampaikan hal itu kepada pemangku kebijakan, mulai dari tingkat desa hingga tingkat Provinsi Sumatera Utara. Sayangnya, permintaan itu belum mendapat respons positif.

"Paling tahun lalu lah, sanggar pernah dikasih bantuan untuk pemeliharaan Rp 1,5 juta, itu pun dari pemerintah desa. Kalau dari Pemprov Sumut atau lainnya belum ada," ujar dia.

"Karena dari Pemerintah tidak ada, ya pastinya harus saya usahakan sendiri. Ini demi semangat melestarikan reog di sini juga.

"Ke depan saya mau buka bakso 'pentol barongan'. Saya punya impian membeli peralatan reog yang baru, dan semoga tercapai dari jualan itu," tutup Sunaryo. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com