TAPANULI TENGAH, KOMPAS.com - Sudah dua pekan lamanya warga kawasan Tapanuli Tengah bertahan hidup tanpa adanya listrik maupun sinyal komunikasi dan internet.
Nenli Marbun, salah satu warga yang tinggal di Desa Sijungkang, Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah menyebut, kondisi ini sudah terjadi sejak sebelum adanya longsor.
"Sudah dua minggu (listrik mati), sejak hujan deras itu. Sebelum longsor itu pun sudah mati lampu, karena hujan deras sekali itu kan," ucap Nenli saat ditemui Kompas.com di lokasi, Rabu (3/12/2025).
Baca juga: Tak Ada Stok BBM, Warga Menginap untuk Antre di SPBU Humbang Hasundutan, Sumut
Rumah Nenli yang sederhana dan berdiri di sisi jurang gunung terlihat gelap di bagian dalamnya, tanpa ada lampu penerangan yang menyala.
Sementara itu, Nenli tengah duduk di teras rumahnya untuk mencari udara segar, bersama anak dan anjing peliharaannya.
Sesekali, Nenli menyapa para pengendara mobil yang terjebak macet akibat tertutupnya sebagian jalan oleh tanah longsor saat melintas di depan rumahnya.
Nenli dan suaminya sehari-hari bekerja sebagai petani di lahan sawah milik mereka sendiri.
Namun, akibat longsor yang menerpa, lahan sawah yang menjadi tumpuan ekonomi keluarganya pun rusak.
"Dulu empat tahun lalu itu sempat ada banjir juga di sini, rusak lahannya. sudah dibagusin lagi, sekarang rusak lagi," ujar dia.
Baca juga: Pedagang Nakal Naikkan Harga Saat Banjir Aceh, Kapolres Lhokseumawe Ancam Pidanakan
Akibat lumpuhnya infrastruktur dan kebutuhan dasar, Nenli rela berjalan menyusuri naik turunnya pegunungan untuk sampai di Kecamatan Barus.
"Sembako pun sulit karena ke sana kan masih longsor, harus jalan kaki 2 kilometerlah kurang lebih beli sembako," kata dia.
Namun, setelah tiba di tempatnya dan bisa membeli kebutuhan pun, masalah belum berhenti menerpa.
Ia dikagetkan dengan melonjaknya harga bahan-bahan pokok di tengah situasi bencana.
"Sembako naik, minyak goreng saja sudah Rp 25.000 sekilo, biasanya Rp 10.000, enggak sampai Rp 25.000, ikan asin aja mahal, enggak beli lah," kata dia.
Karena keterbatasan uang yang dimilikinya untuk membeli sembako, Nenli dan keluarganya akhirnya bertahan dengan menggunakan bahan-bahan secukupnya.