Konon, kata "lunto" berasal dari sebuah legenda pohon besar yang berbunga. Pohon tersebut ada di pinggir jalan dan selalui dilewati oleh penduduk Nagari Kubang dan Nagari Lunto.
Setiap ada yang bertanya nama pohon tersebut, orang menjawab dengan alun tau yang berarti belum tahu.
Namun karen diucapkan cepat dengan logat khas daerah, kata alun tau terdengar seperti lunto.
Tak ada yang tahu nama pohon tersebut. Namun sungai yang melintasi daerah tersebut diberi nama Batang Lunto.
Lalu daereh tersebut diberi nama Sawahlunto yang dahulunya adalah areal persawahan yang dikelola nenek moyang masyarakat Nagari Kubang.
Pada tahun 1858, geolog Belanda Ir C De Groot van Embden melakukan penelitian di pedalaman Minangkabau yang saat itu dikenal sebagai Dataran Tinggi Padang.
Penelitian dilanjutkan oleh De Greve pada tahun 1867 dan ditemukan ada kandungan 200 juta ton batu bara di sekitar aliran Batang Ombilin dan salah satunya ada di Sawahlunto.
Pada tahun 1879, Pemerintah Hindi Belanda pun mulai merencanakan pembangunan saran dan prasarana untuk mempermudah eksploitasi batu bara di Sawahlunto.
Lalu pada 1 Desember 1888, Sawahlunto dijadikan sebuah kota dan ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto.
Sejak tahun 1982, Kota Sawahlunto mulai memproduksi batu bara. Seiring dengan waktu, kota ini pun menjadi kawasan pemukiman pekerja tambang dan terus berkembang menjadi sebuah kota kecil.
Kala itu penduduknya didominasi oleh pegawai dan pekerja tambang.
Pada 6 Juli 1889, pemerintah mulai membangun jalur kereta api menuju Padang untuk mempermudah pengangkutan batu bara keluar dari Sawahlunto.
Jalur kereta api tersebut sampai di Sawahlunto dan selesai pada 1 Februari 1894.
Baca juga: Jadi Warisan Dunia, Penambangan Dilarang di Ombilin Sawahlunto
Usaha tambang di Sawahlunto hingga tahun 1898, masih mengandalkan narapidana yang dipaksa bekerja dengan bayaran murah.
Setelah jalur kereta api dibuka, produksi batu bara di Sawahlunto terus meningkat hingga mencapai ratusan ribu ton per tahun.