MEDAN, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menemukan sejumlah keganjilan saat mendalami keberadaan kerangkeng di rumah Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin, pada Kamis (27/1/2022).
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, sudah turun ke lokasi dan bertemu dengan sejumlah pihak yakni Kemenkum HAM Kanwil Sumatera Utara, Kapolda Sumut, Kepala BNNP Sumut dan para mantan tahanan kerangkeng tersebut.
Dari hasil informasi yang dihimpun Edwin ada beberapa keganjilan yang perlu pendalaman dan juga indikasi terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Baca juga: Investigasi Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Nonaktif Langkat, LPSK: Terjadi Penahanan Ilegal
Pasalnya, para tahanan itu hilang kebebasan, dieksploitasi untuk bekerja di pabrik olahan sawit tanpa mendapat gaji.
Mereka ditahan dalam kerangkeng itu dengan waktu bervariasi dengan standar 1,5 tahun hingga 4 tahun.
"Informasi lainnya bahwa mereka dibatasi aksesnya. Termasuk warga tak bisa membesuk mereka dalam waktu tertentu 6 bulan atau 3 bulan pertama tak bisa diakses keluarga," kata Edwin saat konferensi pers di Medan pada Sabtu (29/1/2022) siang.
LPSK juga mendatangi lokasi pabrik kelapa sawit.
Temuannya yakni, para penghuni kerangkeng tak bisa berkomunikasi dengan keluarganya lewat handphone. Mereka juga tidak bisa beribadah sebagaimana wajarnya.
"Kami lihat ada sajadah tapi kami tanya apakah boleh shalat Jumat, tidak boleh. Shalat ied, tak boleh. Kemudian yang nonmuslim apakah boleh ke gereja di hari Minggu, Natal dan misa, tak boleh," katanya.
Baca juga: Kontroversi Bupati Nonaktif Langkat: OTT KPK, Kerangkeng Manusia, dan Koleksi Satwa Dilindungi
Menurutnya, pembatasan itu melampaui pembatasan yang terjadi dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan milik negara.
"Tak ada pembatasan seperti itu, baik pada proses penyidikan, atau orang terpidana dalam sistem negara," katanya.
Menurutnya, proses yang terjadi itu bagi LPSK ganjil dan cenderung merupakan bentuk tidak pidana perdagangan orang karena ada penyekapan, eksploitasi karena bekerja tanpa gaji, dan itu patut jadi perhatian kepolisian untuk mendalaminya.
Edwin berharap polisi tidak terpengaruh opini yang dibangun sekelompok orang yang mengatakan tidak terjadi hal-hal yang merugikan bagi keluarga maupun korban yang ditahan.
"Polisi harus memastikan bahwa peristiwa itu, pidana terbukti atau tidak. Jadi harus dibuktikan kepolisian unsur pidananya," katanya.
Baca juga: Bupati Langkat Beri Hadiah Mini Cooper Saat Sang Anak Ultah Ke-17, KPK: Akan Ditanya...
Menurutnya, mengenai surat penyerahan orangtua kepada pengelola bisa diabaikan karena hal tersebut batal demi hukum dengan adanya pernyataan yang melanggar norma hukum.
"Bahwa tak boleh dijemput, harus di situ satu setengah tahun dan bahkan jika sakit dan meninggal tidak bertanggung jawab dan dinyatakan dalam surat pernyataan tersebut pihak keluarga tidak akan menuntut apa pun. Jadi hal-hal tersebut menurut kami cukup menjadi satu petunjuk yang mengarah pada perdagangan orang," katanya.
Ditambah lagi, di kerangkeng itu tidak hanya pengguna narkoba.
Fakta yang ditemukan di lapangan dan informasi yang dihimpun, tidak semua penghuninya merupakan pengguna narkoba tetapi juga dari beragam latar belakang dan masalah.
"Contohnya ada yang judi ada yang tak setia sama istrinya, mencuri, jadi macam-macam. Makanya diksi rehabilitasi itu jauh dari kenyataan," katanya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.