Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Harga Kemenyan Ditentukan oleh Tangan Tak Terlihat...

Kompas.com - 09/02/2024, 19:51 WIB
Dewantoro,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

 

Koperasi petani kemenyan

Menurut Hendri, salah satu solusi dari masalah ini adalah membuka market dan koperasi.

Kemudian masyarakat diberdayakan menjadi pengumpul, membangun jaringan. Misalnya bersama pendamping dengan melacak berapa kebutuhan kemenyan untuk gereja Katholik.

"Itu kan jaringan kita juga. Walaupun bisa Jadi sentralistik. Harus dipastikan misalnya ya sudah cari di sana link-nya," katanya.

Baca juga: Merayu Pohon Kemenyan - Musika Foresta (Bag 2)

Selain itu, petani juga peningkatan kapasitas dalam hal standar nasional Indonesia (SNI) kemenyan.

Masyarakat sudah mengerti tentang grade kemenyan, tapi dalam hal kemampuan negosiasi harga harus ditingkatkan, sehingga tidak bergantung kepada pengumpul karena memiliki posisi tawar dengan pengetahuan.

Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan mengatakan, sudah mendampingi masyarakat di Desa Simardangiang, Pantis, Pangurdotan dan Hopong sejak 2020.

Pendampingan yang dilakukan adalah memperkuat perekonomian masyarakat dan sekaligus melindungi hutan.

Dikatakannya, berbicara tentang kemenyan dan masyarakat, ada dua hal penting yakni mengenai harga dan wilayah kelolanya.

Pertama mengenai harga. Dikatakan Dana, berdasarkan pengakuan masyarakat, pada 1960 sampai 1970-an, harga kemenyan setara dengan harga emas.

Dulunya sepulang mereka dari panen kemenyan, membawa sekaleng atau satu kilogram kemenyan, harganya sama mahalnya dengan emas.

Baca juga: Uniknya Ayam Betutu, Dulunya Pakai Bumbu Kemenyan dan Dimasak Selama 10 Jam

Bahkan dari dua pohon kemenyan saja bisa membiayai sekolah anaknya ke tingkat tinggi.

"Kemudian muncul kartel mengatur sedemikian rupa sehingga harga itu jatuh di level paling rendah. Ada banyak tingkatan untuk sampai ke mereka. Nah, masyarakat selalu dapat harga paling rendah. Walaupun di Simardangiang kondisinya lebih baik karena adanya parpatikan, tapi tetap saja harganya tidak bisa seperti dulu karena ada ada harga eceran terendah yang tidak kelihatan, tidak tersurat yang dikontrol oleh cukong," katanya.

Dikatakannya, tidak adanya kendali harga secara transparan pada komoditas kemenyan bisa jadi karena dianggap bukan komoditi yang ada di seluruh Indonesia sehingga tidak menjadi perhatian pemerintah pusat dan provinsi.

"Dan terkesan pemerintah tak bisa berbuat banyak. Kalau diperiksa ekspor Indonesia, tidak ditemukam berapa jumlah ekspor kemenyan karena bukan komoditi khusus, kemenyan disebut dengan dianggap rempah," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com