Akademisi Universitas Sumatera Utara (USU), Hendri Sitorus PhD melakukan penelitian di Desa Simardangiang, Pangurdotan, Pantis, Kecamatan Pahae Julu, dan Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Tapanuli Utara.
Dia memetakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang sedang diakses masyarakat, tentang pola pemanfaatannya kemudian nilai ekonominya.
Dari penelitian itu dia menemukan kemenyan menjadi komoditas prioritas di Desa Simardangiang, Parngordotan, dan Pantis.
Perekonomian masyarakat bergantung di atas 50 persen ekonominya dari hasil kemenyan.
Baca juga: Dari Kemenyan, Inilah Hidup Kami...
Sementara di Dusun Hopong mulai meninggalkan kemenyan dengan mengkonversinya menjadi pisang.
Masyarakat memiliki akses terhadap tanah walaupun berstatus hutan. Hal tersebut belum terlalu terjamin karena belum ada perizinan.
Selama ini masyarakat menganggap bahwa itu wilayah adat mereka.
Menurutnya, wilayah kelola mereka sebetulnya ada potensi konflik kepentingan masyarakat dengan hutan lindung. Masyarakat dapat mengambil HHBK.
Untuk mendapatkan satu kilogram kemenyan, mereka harus membersihkan, mengguris, membuat lubang keluarnya getah kemenyan, memanjat sekitar 10 pohon per hari.
Hasilnya baru bisa dipanen enam bulan kemudian.
"Nah itu menjadi tantangan tersendiri. Kemudian tidak adanya harapan petani terhadap harga. Petani merasa bahwa itu belum menguntungkan tapi tidak ada pilihan juga," katanya.
Baca juga: Harum Kemenyan Kopi Etiopia...
Kemenyan, lanjut Hendri, ada tiga grade. Paling tinggi mata, kemudian tahir, dan paling rendah rasaran.
Harga tertinggi Rp 300.000 per kilogram dan paling rendah Rp 60.000 sampai Rp 80.000 per kilogram.
Dengan tingkat kesulitan memanen, semestinya harga jual kemenyan bisa lebih tinggi.
Transparansi harga merupakan faktor penting karena selama ini petani hanya bermain di level bahan baku mentah.
"Ada persoalan tidak transparannya harga kemenyan. Petani itu tidak tahu harga di nasional itu berapa. Mereka hanya tahu itu dari pengepul lokal," katanya.