Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Harga Kemenyan Ditentukan oleh Tangan Tak Terlihat...

Kompas.com - 09/02/2024, 19:51 WIB
Dewantoro,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Selama berabad-abad, masyarakat adat di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, telah menggantungkan perekonomiannya dengan kemenyan

Kendati demikian, komoditas itu pemasarannya masih dikuasai tengkulak dan tangan-tangan tidak terlihat.

Pedagang memiliki kendali kuat atas harga dan distribusi komoditas. Masyarakat adat tak punya pilihan selain menerima.

Potret itu menyeruak di Dusun Sibio-bio, Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.

Baca juga: Kemenyan yang Lestarikan Hutan di Simardangiang

Salah seorang petani kemenyan yang punya keresahan dengan keadaan itu adalah Luas Partaulian Tambunan. 

Luas mendigitalisasi buku besar milik parpatikan, sebuah lembaga masyarakat adat di Simardangiang yang bertugas mencatat seputar urusan kemenyan.

Petani kemenyan yang berangkat ke hutan atau ladang, alat apa saja yang dibawa, berapa hari kerjanya, hasil panen dengan menimbang kemudian membantu pemasarannya ke toke atau pembeli ada dalam buku itu. 

Kemenyan merupakan hasil hutan bukan kayu yang dikenal karena aromanya. Tidak hanya getahnya, bahkan kulit pohon kemenyan jika dibakar pun mengeluarkan aroma wangi yang semerbak. Aromanya yang khas digunakan sebagai pengikat parfum, aroma terapi dan aneka produk kosmetik lainnya. Namun ketenaran kemenyan tidak sebanding dengan nasib petani yang justru tidak mendapatkan harga yang adil.KOMPAS.COM/DEWANTORO Kemenyan merupakan hasil hutan bukan kayu yang dikenal karena aromanya. Tidak hanya getahnya, bahkan kulit pohon kemenyan jika dibakar pun mengeluarkan aroma wangi yang semerbak. Aromanya yang khas digunakan sebagai pengikat parfum, aroma terapi dan aneka produk kosmetik lainnya. Namun ketenaran kemenyan tidak sebanding dengan nasib petani yang justru tidak mendapatkan harga yang adil.

Salinan catatan yang ditunjukkannya adalah jumlah kemenyan yang dijual di desa berpenduduk 193 kepala keluarga (KK) itu, dari bulan Januari 2023 - Mei 2023 sebanyak 4.250 kilogram dengan nilai ratusan juta rupiah.

"Baru ini yang bisa disalin. Di buku itu catatan harian, pagi sama sore. Banyak, jadinya baru ini. Soalnya kita kan juga ke tombak (hutan) mengambil haminjon (kemenyan)," katanya.

Kepala Desa Simardangiang Tampan Sitompul mengatakan, kemenyan adalah komoditas penting dan bernilai bagi masyarakat sejak 400 tahun yang lalu.

Sejauh pengetahuannya, kemenyan sudah diekspor ke berbagai negara. Namun, tidak ada harga yang pasti pada kemenyan.

Baca juga: Garam Berbau Kemenyan Ditemukan di Lokasi Tes CPNS di Yogyakarta

 

Berbeda dengan komoditas lainnya misalnya kopi dan karet, harga kemenyan yang berlaku selama ini ditentukan oleh toke atau pembeli yang datang.

"Harga kemenyan ini misterius. Kemenyan endemik di sini, tapi kenapa tak bisa kita yang nentukan harganya. Kita kan butuh uang, kadang kita merasa rugi dengan harganya," katanya.

Dia membandingkan dengan harga kemenyan di waktu dulu. Harga kemenyan saat itu setara dengan harga emas.

Dia tidak tahu bagaimana harga kemudian turun hingga yang berlaku saat ini. Harga itu, lanjut Tampan, tidak bisa kembali dinaikkan sebagaimana dulu awalnya.

"Dulu kita pergi ke hutan ambil kemenyan, bawa pulang kita seperti bawa emas, karena harganya setara dengan emas. Harga sekarang adalah harga yang rendah," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com