Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Luas Partaulian, Tinggalkan Kota Besar untuk Jadi Petani Kemenyan

Kompas.com - 13/02/2024, 10:22 WIB
Dewantoro,
Reni Susanti

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Lahir dan besar di Bogor, Jawa Barat, tidak membuat seorang Luas Partaulian Tambunan lupa dengan tanah leluhurnya di Dusun Sibio-bio, Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara.

Penghasilan tinggi di perusahaan tambang nikel di Ternate, Provinsi Maluku Utara, rela ditinggalkannya demi menjadi petani kemenyan.

Seperti hari-hari lainnya, Luas mengenakan kemeja lengan panjang putih dan celana panjang coklat. Ia bergegas dari rumahnya di Batupiaga untuk mengambil getah kemenyan di ladangnya yang jaraknya sekitar 20 menit dengan berjalan kaki. 

Baca juga: Ketika Harga Kemenyan Ditentukan oleh Tangan Tak Terlihat...

Dia menenteng tas kecil dan keranjang anyaman. Di dalamnya terdapat tali dan kayu khusus untuk memanjat. Ia mengenakan sepatu bertamak gerigi agar lebih mudah berjalan tanpa terpeleset di tanjakan berlumpur dan licin.

Di sepanjang jalan, beberapa kali dia memotong ranting dan dahan yang menghalangi jalan. Beberapa saat setelah melewati alur sungai kecil, dia menunjuk salah satu batang pohon kemenyan.

Dengan peralatan yang dibawanya, dia membersihkan lantai hutan. Sembari mempersiapkan alat panjat, dia bercerita bagaimana pria berdarah Batak seperti dirinya lahir dan besar di Bogor.

Baca juga: Kemenyan yang Lestarikan Hutan di Simardangiang

Orangtuanya merantau ke kota hujan itu pada 1979. Tahun 2003, ayahnya pulang ke Simardangiang dan tinggal menetap. Diikuti ibunya.

Awalnya, orangtuanya tidak paham cara mengolah kemenyan. Pelan-pelan dia dibantu warga lainnya. Ayahnya sempat menjadi ketua parpatikan dan menanam banyak bibit kemenyan.

Sekitar 4 tahun lalu, Luas yang bekerja di tambang nikel di Ternate mendapat informasi ayahnya sakit.

"Saya pun pulang, merawat orangtua dan belajar dari nol semua tentang kemenyan," ucap dia.

Dia belajar banyak dari masyarakat yang baru dikenalnya. Hingga kini dia bahkan mengaku sangat kenal setiap jengkal lahannya.

Dia pun setiap hari ke ladang untuk mengambil getah kemenyan. Dalam seminggu dia bisa mengumpulkan 25 kg kemenyan yang masih basah.

Luas mengungkapkan, tak banyak orang seumurnya yang mau masuk ke hutan seperti dirinya. Banyak yang sudah meninggalkan desa untuk bekerja di sektor lain.

Dia mengaku berbeda dari yang lain dalam hal memanen. Jika umumnya hanya membawa getahnya, dia membawa serta kulitnya karena biasanya masih ditempeli getah dan juga masih laku meskipun dengan harga lebih rendah.

Getah kemenyan yang dipanennya, akan dikeringkan di lantai dua rumahnya yang digunakan untuk menyimpan getah dalam berbagai jenis dan grade.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com