Krisis air dan limbah
Masalah kekeringan juga terjadi di Desa Jangger Letto, Kecamatan Panei, Simalungun.
Charles Samosir mengatakan, sawah yang dulunya produktif bahkan digunakan untuk budidaya ikan kini tidak bisa dimanfaatkan lagi karena kekurangan air.
"Dulu habis panen, kami bisa masukkan ikan ke sawah. Sekarang, airnya kurang, pendapatan pun menurun," katanya.
Baca juga: Dituduh Duduki Hutan Konsesi, Ketua Adat Sorbatua Siallagan di Simalungun Divonis 2 Tahun Penjara
Dia menambahkan, air yang dulunya melimpah kini berkurang karena dialihkan untuk kebutuhan perusahaan air minum.
Selain itu, pencemaran limbah industri ke sungai yang digunakan warga memperparah kondisi.
"Limbah ini membuat air tidak layak dipakai, padahal dulu bisa dipakai untuk mandi dan mencuci. Kami sudah melapor, tapi tanggapannya kurang memuaskan," keluh Charles.
Petani berharap pemerintah lebih memperhatikan kondisi mereka, karena petani adalah tulang punggung pangan negara.
"Harapan kami, pemerintah langsung mendengar keluhan petani, bukan hanya dari pihak lain," ujarnya.
Adaptasi perubahan iklim
Permasalahan hama tikus dan kekurangan air di Kecamatan Panei dan Panombeian Pane adalah dampak perubahan iklim.
Yayasan Bitra Indonesia, melalui program Sekolah Lapang Iklim (SLI), membantu petani beradaptasi.
Berliana Siregar, Manajer Divisi Pengembangan Masyarakat dan Lingkungan Yayasan Bitra Indonesia, menjelaskan, program ini berfokus pada pengelolaan air dan pertanian organik.
Baca juga: Toko Bangunan di Simalungun Ludes Terbakar, Pemilik Rugi Rp 2 Miliar
Setiap minggu, petani berkumpul untuk memantau kondisi lahan dan berdiskusi mencari solusi.
"Kami menggunakan metode pertanian 100 persen organik, mulai dari pemilihan bibit hingga pembuatan pupuk organik cair," ujarnya.
Program ini melibatkan pemerintah, akademisi, dan BMKG untuk memberikan materi tentang hama, penyakit tanaman, serta pengelolaan air yang efektif.