MEDAN, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meresmikan proyek bendungan Lau Simeme di Kecamatan Sibiru-biru, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (16/10/2024).
Meskipun peresmian ini menandai kemajuan dalam proyek senilai Rp 1,76 triliun, masih terdapat masalah sengketa ganti rugi tanah yang belum terselesaikan.
Sengketa ini muncul karena belum adanya putusan inkrah mengenai harga ganti rugi tanah bagi sekelompok warga di sekitar lokasi bendungan.
Baca juga: Bendungan Simeme Diklaim Mampu Kurangi 40 Persen Banjir di Medan
Pengacara warga dari EL Law Office, Eri Lukmanul Hakim Pulungan menyatakan, sekitar 200 warga masih bersengketa. Dari jumlah itu, 64 di antaranya memberikan kuasa kepada EL Law Office.
Eri menjelaskan, sengketa terjadi karena pemerintah, melalui Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), menetapkan harga ganti rugi tanah sangat rendah, mulai dari Rp 15.000 per meter persegi.
"KJPP menentukan nilainya variatif, enggak sama semuanya, ada yang Rp 15.000, ada yang Rp 25.000, ada yang Rp 100.000, bahkan ada yang Rp 200.000, sehingga menurut warga harga tersebut tidak berkeadilan," ujarnya saat dihubungi Kompas.com.
Baca juga: Pengerjaan Bendungan Krueng Keureto Tersisa 4 Persen, Terhambat Cuaca
Menurut Eri, harga tersebut sangat tidak mencerminkan nilai pasaran tanah di sekitar Bendungan Lau Simeme, yang berkisar Rp 400.000 per meter persegi.
Warga kemudian mengajukan permohonan keberatan atas harga tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam.
Hasilnya, hakim PN Lubuk Pakam mengabulkan 48 permohonan warga, sementara 16 permohonan lainnya tidak dikabulkan.
Dari 48 permohonan yang dikabulkan, harga tanah yang awalnya rendah kini meningkat, berkisar Rp 100.000-300.000 per meter persegi.
Namun, pemerintah melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) II dan Badan Pertanahan Nasional Deli Serdang (BPN) mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
"Jadi pihak BWS dan BPN mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap 48 warga yang menang di Pengadilan Lubuk Pakam. Sedangkan 16 warga yang kalah juga melakukan upaya hukum kasasi," jelas Eri.
Saat ini, pihaknya masih menunggu hasil putusan kasasi dari Mahkamah Agung.
"Namun masih belum tahu kapan keluarnya, tetapi seharusnya berdasarkan Pasal 22 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016, putusan tersebut sudah harus putus dalam waktu satu bulan sejak didaftarkan. Kami mendaftarkannya sejak bulan Juli," tambahnya.
Eri menekankan, warga meminta harga tanah disamaratakan, dengan harga yang tidak terlalu murah.