PEMATANGSIANTAR, KOMPAS.com - Keluarga Iptu Samuel Marbun menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses penyelidikan hilangnya anggota Polri tersebut.
Ratusan warga di Pematangsiantar, Sumatera Utara, menggelar unjuk rasa mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera membentuk Tim Khusus guna mengungkap kasus ini.
Iptu Samuel Marbun, yang merupakan mantan Kasat Reskrim Polres Teluk Bintuni, Papua Barat, dinyatakan hilang di Sungai Rawara saat operasi melawan kelompok sipil bersenjata (KSB) di wilayah Moskona, Kabupaten Teluk Bintuni, pada 18 Desember 2024.
Statusnya hingga kini belum diketahui.
Baca juga: Warga Nyalakan Lilin Minta Presiden Turunkan Tim Khusus Tangani Kasus Iptu Tomi Marbun
Bersama 65 personel, Iptu Marbun membentuk tim penanggulangan KKB tanpa melibatkan anggota Brimob maupun TNI, berdasarkan surat perintah Kapolres Teluk Bintuni AKBP Choiruddin Wachid tertanggal 2 Desember 2024.
Rombongan tersebut bergerak melalui jalur hutan dan berjalan kaki selama dua hari untuk mencapai titik ambush pada 17 Desember 2024.
Pada 18 Desember 2024, sekitar pukul 08.30 WIT hingga 10.00 WIT, dilakukan penyeberangan sungai menuju wilayah zona merah.
Sekitar pukul 12.00 WIT, keluarga menerima informasi simpang siur mengenai hilangnya Iptu Marbun.
Monterry Marbun, adik Iptu Samuel, mengatakan, “Kejanggalan yang pertama ketika Iptu Tomi Marbun hanyut, Tim bukan mencari melainkan mengejar DPO KKB menurut keterangan saksi,” saat diwawancarai di tengah unjuk rasa di depan Mako Polres Pematangsiantar, Jalan Sudirman, pada Senin (23/6/2025) sore.
Pencarian terhadap Iptu Marbun dilakukan pada 19 Desember 2024, namun tidak ada pencarian darurat sejak ia dinyatakan hilang.
Upaya pencarian dilanjutkan pada 31 Desember 2024, tetapi tetap tidak membuahkan hasil.
Pencarian tahap pertama dan kedua dilakukan sejak bulan Desember 2024 hingga Januari 2025, namun keberadaan Iptu Marbun belum ditemukan.
Keluarga memulai pencarian tahap ketiga yang melibatkan ratusan personel gabungan, termasuk kelompok sipil seperti Komnas HAM RI Perwakilan Papua dan anggota keluarga Iptu Marbun.
Ia juga mempertanyakan, “Sampai sekarang keluarga bertanya-tanya, sedalam apa sungainya, debit air sekeras apa. Tidak mungkin air hanya selutut perwira sekelas Akpol yang mana wajib tahu berenang, bagaimana bisa dia hanyut,” sambung Monterry.
Monterry mengungkapkan bahwa saat pencarian ketiga, olah TKP di zona merah tempat Iptu Tomi hanyut juga tidak dilakukan.
“Kita buat laporan ke Bareskrim, tapi dilimpahkan ke Polda Papua Barat. Saya mengalami sendiri, katanya dilakukan olah TKP, tidak ada dilakukan olah TKP persis di tempat Abang saya hanyut,” katanya.
Pihak keluarga telah menyurati DPR RI dan Kapolri untuk meminta audiensi, serta menyurati Kompolnas dan Komnas HAM.
Mereka meminta agar Presiden memerintahkan Kapolri untuk membentuk Tim Khusus yang independen, melibatkan berbagai pihak agar kasus ini dapat terungkap dengan jelas.
“Kalau dilakukan pemeriksaan, diperiksalah di Mabes Polri, bukan di daerah (Polda Papua Barat) agar tidak ada intervensi dari pejabat daerah. Itu yang kita minta,” tegas Monterry.
Dalam orasinya, Monterry juga mengungkapkan bahwa ia pernah berbicara dengan salah satu pejabat polisi mengenai kemungkinan abangnya dibunuh.
“Saya sudah pernah mengatakan kepada salah satu pejabat di Mabes Polri. Kalau memang Abang saya sudah dibunuh, tunjukkan jasadnya. Bahkan kaki-nya saja kalau bisa kalian kembalikan. Selama bisa diidentifikasi itu Abang saya, kita terima dengan catatan periksa semua yang terlibat siapa pelakunya,” tuturnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang