Hal itu juga dikonfirmasi oleh Monalisa (26), seorang warga asal Pardagangan lainnya yang juga mengungsi di posko.
Menurutnya, untuk mandi dan buang air besar, para pengungsi harus berjalan setidaknya satu kilometer menuju ke SMPN 3 Matauli.
Sekolah itu merupakan tempat terdekat yang memiliki akses bersih dari air sumur yang tak ikut tercemar limbah dan banjir.
"Kalau mau buang air besar, ya ditahan-tahan lah. Kalau enggak ya jalan kaki satu kilo lah. Kalau enggak mau, ya paling naik bentor. Kadang Rp 5.000, kadang Rp 10.000 sekali jalan," ucapnya.
Kondisi itu pun semakin menyulitkan bagi Monalisa karena dirinya tengah mengandung anak keduanya yang kini telah memasuki usia enam bulan.
Selain itu, listrik di lokasi pengungsian juga tidak menyala 24 jam karena kondisi infrastruktur yang belum pulih sepenuhnya.
Pemadaman bergilir diberlakukan, di mana listrik mati dari pagi hingga sore hari.
"Mati lampu ini memang. Kalau malam jam 6 malam sampai pagi hidup. Pagi sampai siang mati," jelasnya.
Matinya listrik pun turut menimbulkan ketidaknyamanan karena kondisi yang gelap, panas, dan pengap karena penuhnya pengungsi yang berada di dalam area gedung serbaguna.
Para pengungsi pun berharap bisa segera mendapatkan bantuan terkait kebutuhan-kebutuhan yang krusial, seperti makanan bayi hingga air bersih.
Ulurkan tanganmu membantu korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Di situasi seperti ini, sekecil apa pun bentuk dukungan dapat menjadi harapan baru bagi para korban. Salurkan donasi kamu sekarang dengan klik di sini