Sejak tahun 2000, Edy memilih meninggalkan kampung halaman, lalu hidup nomaden.
Tiga tahun belakang, ia berkegiatan di Desa Taat, Kecamatan Gadung, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Setelah itu ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sampai saat ini di Jakarta.
"Kalau tidak berpindah-pindah, kita tidak menyebarkan apa yang bisa kita buat. Jika di suatu daerah ada masyarakat sekitar yang sudah mampu melanjutkan kegiatan, berarti saya harus pindah, mencari tempat lain lagi," ucapnya.
Uang hasil lukisan pesanan dihabiskan untuk membeli buku, sepatu, tas dan lainnya.
Tujuannya membantu dan mengedukasi anak-anak pedalaman, termasuk di Tanah Karo Simalem.
Di Karo, Edy menyisihkan uangnya untuk korban erupsi Gunung Sinabung.
"Di daerah Singalor Lau, masyarakat membuka jungle class sehingga perlu di-support buku bacaan, buku tulis, buku gambar, apa saja yang penting terkait edukas," ucapnya.
Edy ikhlas menyumbang karena beranggapan apa yang didapatnya adalah milik mereka yang membutuhkan.
"Kalau dibilang ingin nggak punya mobil mewah? Ingin... Sebenarnya pengen simpan itu semua uang. Tapi kenyataannya, ketika pergi ke suatu daerah, ada orang yang beli pensil saja tidak bisa. Kira-kira ke mana semua yang tajir-tarir, yang punya tupoksi mengurusi pendidikan di Indonesia, ke mana semua?," ucap Edy miris.
"Sebagai manusia, ya otomatis kita miris. Saya dulu sekolah di pedalaman, harus jalan kaki. Aku ngerasain benar-benar, bertahun-tahun jalan kali, pulang-pergi setiap hari 20 kilo untuk bisa sekolah," cerocosnya.
Edy mengaku tidak suka sekolah, maksudnya sistem pendidikan dengan kurikulum. Murid-murid dipaksa menelan semua pelajaran di waktu yang bersamaan.
Menurutnya, inilah yang membuat sulit mendapat seorang ahli di Indonesia karena tidak pernah diberi kebebasan untuk fokus di bidangnya. Kebebasan inilah yang membuat ia harus berpindah-pindah sekolah.
"Aku tetap berdiri di bidangku walaupun guru mau pecat, terserah. Pada akhirnya, aku merasa sudah tidak lagi menjadi manusia di Medan, apapun yang aku tahu tidak ada gunanya. Tahun 2000, aku ke Bali," kata dia.
Di Pulau Dewata, Edy bertemu orang-orang yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan seperti Navicula dan Jerinx SID.
Mereka berkolaborasi melakukan gerakan bersama, para artis dengan lagu-lagu yang mereka ciptakan, Edy lewat lukisan yang merupakan basic-nya.
Sebelum melukis, ia lebih dulu membuat rumah dari segala jenis sampah seperti pembalut wanita dan popok bayi. Rumah-rumah buatannya berada di Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Wamena dan Halmahera Utara, digunakan sebagai tempat belajar dan berkreasi. Sayang, tidak terpublikasi.
Penggunaan sampah menjadi lukisan mulai benar-benar dilakukannya pada 2000-an.
Dia aktif di kegiatan penyelamatan lingkungan, terutama dalam hal mengolah limbah plastik, edukasi anak-anak pedalaman, pertanian organik, dan home industry.
Lukisan menjadi alat kampanye dan edukasi bahwa sampah berguna untuk banyak hal, mulai dari rumah, patung sampai beton. Melukis dengan limbah plastik agar banyak yang melihat dan terinspirasi melakukan hal yang sama.
"Mana tahu dengan semakin banyak orang yang mengolah sampah, bisa jadi sumber pendapatan, seperti tujuan ku," ucapnya.
Sampah yang digunakan Edy adalah kantong kresek atau asoy sebab lebih transparan sehingga lebih mudah menggradasikan warna. Bungkus deterjen atau sejenisnya bisa dipakai, namun hasilnya akan seperti siluet.