Temuan lainnya dari Komnas HAM adalah telah terjadi kerja paksa terhadap penghuni kerangkeng tersebut.
Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Endang Sri Melani mengatakan para penghuni kerangkeng tidak hanya dipekerjakan di kebun sawit milik Bupati Terbit, tetapi juga di kebun sawit milik orang lain.
Selain itu, korban juga dipekerjakan sebagai buruh parkir, buruh bangunan di rumah Terbit, termasuk mengeruk tanah di sekitar kerangkeng.
"Para penghuni tidak mendapatkan upah dari pekerjaannya dan hanya diberikan ekstra puding. Penghuni juga tidak bisa menolak untuk tidak bekerja karena takut dan rentan mendapat kekerasan dari pengurus kerangkeng," jelas Endang.
Atas temuan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan agar polisi menegakkan hukum pidana kepada pihak-pihak yang terlibat, termasuk memberi sanksi pada anggota TNI-Polri yang diduga terkait.
Komnas HAM meminta proses hukum dan penegakan sanksi dilakukan secara terbuka dan akuntabel.
Selain itu, Komnas HAM mendesak BNN dan BNNK mengevaluasi tempat-tempat rehabilitasi dan memastikan kasus serupa tidak terjadi di tempat lain.
Sebelumnya diberitakan, Komnas HAM mengatakan kekerasan yang terjadi di kerangkeng milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Parangin-angin dilakukan dengan berpola, dan para penghuni itu bekerja di kebun sawit tanpa dibayar.
Baca juga: Komnas HAM: Korban Meninggal di Kerangkeng Manusia di Langkat Jadi 6
"Kekerasan yang berpola itu, kami tahu waktunya, kami tahu apa alat yang digunakan, kami tahu siapa yang melakukan, kami tahu pengawasan untuk itu… (Keterlibatan Terbit dalam kekerasan) sedang kami dalami," kata Anam usai meminta keterangan Terbit selama dua jam di KPK, Jakarta, Senin (7/12/2021).