Komnas HAM juga mengatakan menemukan istilah-istilah kekerasan yang digunakan dalam kerangkeng tersebut.
"Misalnya seperti MOS, Gas, atau 2,5 Kancing, ada istilah-istilah seperti itu dalam konteks kekerasan," tambah Anam.
Dalam proses penyelidikan, Komnas HAM mengatakan kerangkeng di rumah Terbit disebut masyarakat sebagai tempat rehabilitasi pengguna narkotika.
Namun, rehabilitasi tersebut tak punya izin, alias ilegal.
Choirul Anam juga mengatakan temuan tentang dugaan adanya korban jiwa akibat kekerasan selama proses rehabilitasi ini cocok dengan penyelidikan kepolisian Sumatera Utara.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Ada Anggota TNI/Polri yang Terlibat di Kerangkeng Manusia di Langkat
Ia berharap kepolisian menaikkan kasus tersebut menjadi satu proses hukum. Karena memang dekat sekali dengan peristiwa pidana."
Pekan ini, Komnas HAM juga berencana menggali keterangan dari ahli terkait kecurigaan kerangkeng manusia di rumah Terbit sebagai wadah perbudakan modern.
Pihaknya juga berencana memeriksa Terbit Parangin-angin terkait kerangkeng manusia di rumahnya.
Sebelumnya, sejumlah pakar pidana menyatakan Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-Angin, dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam kasus dugaan perbudakan terkait penemuan kerangkeng manusia di rumahnya.
Baca juga: Komnas HAM Pertanyakan Keberadaan Kerangkeng Manusia di Langkat yang Sudah Ada Sejak 2010
Menurut Pakar hukum sekaligus mantan anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, yang dilakukan Terbit telah memenuhi unsur eksploitasi karena diduga mempekerjakan pecandu narkoba dengan jam kerja yang tidak layak, tanpa diupah, hingga ditempatkan dalam kerangkeng yang tidak manusiawi.
Selain itu, penempatan mereka di kerangkeng yang tidak layak dan membatasi ruang geraknya dianggap sebagai bentuk penyiksaan.
Tetapi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan menyampaikan bahwa puluhan orang yang dia sebut sebagai warga binaan tersebut berada di dalam kerangkeng atas persetujuan keluarga untuk direhabilitasi akibat kecanduan narkoba dan melakukan kenakalan remaja.
Baca juga: Babak Baru Kasus Kerangkeng Manusia, Polda Sumut Naikkan Statusnya Jadi Penyidikan
"Para penghuni tersebut diserahkan oleh keluarganya kepada pengelola untuk dibina. Mereka diserahkan dengan membuat surat pernyataan," kata Ramadhan melalui konferensi pers di Jakarta, Selasa (25/01).
Meski demikian, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati berpendapat bahwa persetujuan keluarga korban tidak serta merta menghilangkan penuntutan atas praktik perdagangan orang yang terjadi.
Maidina mengatakan Bupati Langkat bisa terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara terkait kasus ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
Itu pun belum termasuk ancaman pidana akibat penyalahgunaan kewenangan yang dia lakukan sebagai pejabat daerah dengan menahan orang-orang tersebut di tempat rehabilitasi ilegal yang tidak sesuai standar.
Baca juga: LPSK Duga Keluarga Bupati Langkat dan Oknum Penegak Hukum Terlibat dalam Kasus Kerangkeng Manusia
"Di Undang-Undang TPPO sekali pun, persetujuan korban sama sekali tidak menyatakan bahwa TPPO-nya tidak terjadi. Kalau pun persetujuannya ada selama lingkungannya eksploitatif, prosesnya menghilangkan komunikasi dia ke pihak lain, itu adalah salah satu bentuk TPPO yang harus diusut," ujar Maidina kepada BBC News Indonesia.
Ketua Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care, Anis Hidayah menganggap klaim tempat rehabilitasi narkoba itu sebagai kedok atas perbudakan yang sewenang-wenang.
Sebelumnya, Migrant Care melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan menyebut temuan ini sebagai dugaan perbudakan modern.
Migrant Care mengatakan informasi yang didapat berdasarkan wawancara orang-orang di dalam menunjukkan orang-orang di kerangkeng ini bekerja di perkebunan kepala sawit milik bupati.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani memastikan Bupati Langkat akan dihukum seberat-beratnya atas dugaan perbudakan tersebut.
Berdasarkan penyelidikan sementara, polisi menemukan lahan seluas satu hektare dan gedung berukuran 36 meter persegi yang dibagi menjadi dua ruangan berjeruji besi yang dibangun sejak 2012.
Namun, Ahmad mengatakan tempat ini tidak berizin dan tidak terdaftar sebagai tempat rehabilitasi.
Baca juga: Ditemukan 2 Makam Penghuni Kerangkeng Manusia Bupati Langkat Nonaktif, Apakah Ini Perbudakan Modern?
Ramadhan juga membenarkan bahwa mereka dipekerjakan di pabrik sawit milik Bupati Langkat, namun tidak dibayar dengan dalih memberi keahlian untuk para warga binaan sebagai bekal bagi mereka selepas keluar dari tempat tersebut.
"Mereka tidak diberi upah seperti pekerja karena mereka merupakan warga binaan, namun diberikan ekstra puding dan makanan," kata Ramadhan.
Tetapi sampai saat ini, polisi belum menyebut indikasi adanya perbudakan modern dari operasional kerangkeng rehabilitasi tersebut.
"Ini (dugaan perbudakan) dalam proses, kita melihat dengan kesadaran sendiri orang tua mengantar dan menyerahkan, kemudian dengan pernyataan. Tetapi apa itu, nanti kita lihat dan dalami apa prosesnya. Kita belum bisa cepat-cepat memberi kesimpulan," ujarnya.
Baca juga: Polda Berharap Keluarga Bupati Langkat Beri Penjelasan soal Kerangkeng Manusia
Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengakui bahwa kerangkeng tersebut tidak layak dan tidak memenuhi standar tempat rehabilitasi yang semestinya.
"Kalau keterangan Polda mengatakan ini rehab narkoba, bisa jadi dugaannya ini kedok ya untuk bisa memanfaatkan mereka, mempekerjakan secara sewenang-wenang, tanpa gaji, tanpa perlindungan sosial, bahkan ada dugaan penyiksaan. Itu kan perbudakan," kata Anis kepada BBC News Indonesia.
"Kami terima dokumentasi itu ada yang lebam, kemudian dikerangkeng gitu setelah bekerja. Itu kan perilaku yang keji dan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia. Walaupun rehabilitasi, tidak boleh ada perlakuan yang merendahkan, yang mengandung kekerasan, itu adalah pelanggaran HAM," lanjut dia.
Baca juga: Polda Berharap Keluarga Bupati Langkat Beri Penjelasan soal Kerangkeng Manusia
Sementara itu, keluarga dari salah satu korban yang berada di dalam kerangkeng tersebut, Muhammad Fauzi, mengaku adiknya yang bernama Muhrifan Affandi dibina dengan fasilitas gratis yang meringankan beban keluarga.
Salah satu warga lainnya yang pernah dikerangkeng, Jefri Sembiring membantah ada penyiksaan selama menjalani rehabilitasi. Jefri juga mengaku tidak pernah bekerja di kebun sawit milik Bupati langkat.
"Kalau saya tidak pernah. Cuci baju, bersih-bersih tempat itu (kerangkeng), itu saja setiap hari," ungkap dia.
Baca juga: Polisi Temukan Selang di Kerangkeng Bupati Langkat, Diduga untuk Siksa Penghuni
Terkait pengakuan tersebut Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati bependapat keterangan itu tidak bisa menjadi pembenaran atas tindak kriminal yang dilakukan.
"Pastikan dulu seluruh korban tidak mengalami intimidasi dalam keterangannya," kata Maidina.
"Penempatannya saja tidak manusiawi, ada unsur eksploitatif, ya paling tidak kondisi kerja tidak layak tetap bisa diusut," lanjut dia.
Sejumlah wartawan di Langkat mengatakan banyak warga dan wartawan sendiri yang takut berbicara soal kerangkeng dan aktivitas bupati.
Baca juga: Kasus Kerangkeng, Keluarga Bupati Nonaktif Langkat Tak Penuhi Panggilan Penyidik Polda Sumut