Berdasarkan fakta yang terungkap sejauh ini, Pakar hukum Ninik Rahayu mengatakan apa yang terjadi di rumah Bupati Langkat adalah bentuk perbudakan pada manusia sehingga sudah semestinya dijerat dengan UU TPPO.
Menurut Ninik, tindakan itu bisa dikatakan eksploitatif karena ada ketimpangan relasi kuasa antara Bupati Langkat dengan para pecandu narkoba yang berada dalam posisi rentan dan tidak bisa menolak pemaksaan kerja.
"Walaupun itu diatasnamakan dengan memberikan rehab, tetapi kan tidak sesuai dengan (rehabilitasi) yang seharusnya dilakukan. Tujuannya adalah mengeksploitasi korban, sedangkan korban tidak punya pilihan lain, tenaganya dipakai. Jadi ini ada perbudakan pada manusia," papar Ninik.
Baca juga: Kepada Keluarga, Pihak Bupati Langkat Sebut Korban Tewas di Kerangkeng Meninggal karena Covid-19
Dia juga mengatakan persetujuan keluarga korban tidak dapat menghilangkan tindak kriminal yang dilakukan oleh pelaku.
"Karena tanda tangan yang diberikan itu diberikan dalam kondisi yang tidak setara antara pelaku dengan korban. Korban dalam kondisi tidak ada pilihan lain kecuali mengiyakan apa yang diinginkan pelaku," tuturnya.
Senada dengan Ninik, Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan tindakan yang diklaim sebagai rehabilitasi oleh Bupati Langkat tersebut tidak memenuhi standar dan ketentuan yang berlaku menurut Undang-Undang Narkotika.
Apalagi dengan temuan bahwa orang-orang tersebut dipekerjakan secara berlebihan dari pagi hingga malam dan diberi tempat istirahat berupa kerangkeng yang tidak layak.
"Di Undang-Undang Narkotika itu ada sembilan bentuk kegiatan (terkait rehabilitasi), itu terkait proses adiksi, ada vokasional, tapi enggak dalam konteks eksploitatif. Sifatnya hanya dalam konteks pelatihan, bukan mempekerjakan dengan ada profit di dalamnya," jelas Maidina.
Misalnya menggunakan Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang memaksa seseorang melakukan sesuatu sehingga merampas kemerdekaan mereka.
"Sebelum polisi mengatakan bahwa ada persetujuan (keluarga korban) yang seolah membenarkan tindakan ini, dari awal seharusnya ini tidak boleh terjadi karena bupati tidak punya kewenangan," ujar Maidina.
Sementara itu, Ninik Rahayu menegaskan bahwa seorang bupati tidak memiliki wewenang untuk menahan dan membatasi ruang gerak seseorang. Penahanan semestinya menjadi kewenangan lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Rehabilitasi narkoba pun, kata dia, tidak bisa dilaksanakan secara sewenang-wenang.
"Pecandu narkoba sistem rehabilitasinya kan ada tata caranya, enggak sekedar orang ditahan. Bentuk pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan penyembuhan dan rehabiltiasi. Kalau tidak ada kewenangan di situ itu sudah merupakan kejahatan karena melampaui kewenangan yang seharusnya mereka lakukan," ujar Ninik.
*Kontributor Medan, Dedi Hermawan, berkontribusi dalam tulisan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.