Sultan melanjutkan, Sanggar Rayantara tak hanya melestarikan budaya Simalungun lewat seni pertunjukan tari. Namun terus menggali kesenian dan tradisi Simalungun yang mulai punah.
Melalui jejaring dengan para seniman tempo dulu, dia mulai memperkenalkan satu per satu karya seni itu kepada generasi muda. Salah satunya adalah memperkenalkan Gonrang Sidua dua.
Alat musik gendang ini telah tergantikan dengan Gonrang sipitu pitu maupun keyboard, sehingga nyaris tidak pernah ditampilkan pada acara adat istiadat Simalungun.
Untuk itu, kata Sultan, Sanggar Rayantara mendatangkan Jelasmen Saragih (62) seorang pelestari Huda Huda dari Durian Baggal, Simalungun, untuk melatih anak anak di Sanggar.
Tak hanya Gonrang Sidua dua, ada alat musik lain yakni Sarune yang merupakan alat tiup dan arbab -alat musik berdawai. Kedua alat musik ini tergolong jarang digunakan, akibat orang yang mampu memainkannya sedikit sekali.
“Seperti arbab. Ini alat musik gesek dengan dua senar. Dulu kita membuat pertunjukan nggak sempat merekam karena kita nggak punya duit. Sekarang orang yang memainkannya sudah meninggal dunia,” ujar Sri Sultan.
Baca juga: Mengintip Uniknya Cara Mengenalkan Kesenian dan Budaya Sunda ke Generasi Muda
Selain itu, jenis tarian kesenian masa lampau yaitu Tortor Tukkot Malehat tergolong punah lantaran tidak semua mampu memainkan karena terhubung dengan ritual leluhur.
“Toping toping Huda huda sudah punah, tradisi adat kematian yang sudah tidak diwarisi lagi masa kini,” imbuhnya.
Dikatakan Sri Sultan, upaya penyelamatan karya seni maupun tradisi masa lalu itu sudah terbangun lewat jejaring dengan para seniman asli dari daerah.
Namun terkadang kendala dana, sebab mendatangkan para seniman itu perlu biaya.
Pernah suatu kali ia bertemu dengan penenun duduk khusus corak Bulang Sulappei. Penenun itu bersedia melatih, namun Sultan tak berani menyanggupinya.
“Bertenun sambil lesehan itu tinggal satu orang yang mengerjakan. Ada satu atau dua orang lagi yang bisa tapi sudah nggak mau lagi karena lebih memilih berladang,” katanya.
“Dia mau mengajarkan cara bertenun di Sanggar ini, tapi aku mikir bagaimana nanti uang makannya, tempat tinggalnya dan tidak mungkin tak ada uang sakunya,” sambungnya.
Berkaca dari situasi demikian, Sri Sultan Saragih berharap kepada Pemerintah agar serius untuk menyelamatkan kesenian Simalungun secara berkelanjutan.
Hal itu bisa dilakukan dengan memberdayakan seniman seniman daerah yang hampir terlupakan. Apalagi, Simalungun merupakan suku asli di Kota Pematangsiantar.
“Pemerintah harus melihat mana yang prioritas untuk bermitra program, untuk menyelamatkan kebudayaan secara berkelanjutan,” kata dia.