Dosen Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr Bakhrul Khair Amal, mengatakan kebijakan itu harus berbasis keilmuwan.
Baca juga: Bobby Terapkan 5 Hari Sekolah, Akademisi: Ada Nggak Analisis Naskah Akademiknya?
"Sebenarnya, kebijakan harus berbasis keilmuwan. Ada enggak analisis naskah akademiknya sebelum mengambil kebijakan? Ada tidak hasil penelitian dalam mengambil keputusan, misalnya bagaimana perspektif siswa, guru, dan orangtua?" kata Bakhrul.
Dia mengatakan, naskah akademik itu akan mengangkat perbedaan cara pandang.
Misalnya, bagaimana kekebalan tubuh dari siswa dan guru tidak merasa kelelahan atau tidak terganggu secara fisik dan psikis.
Itu yang harus dianalisis, bukan langsung kebijakan lima hari sekolah.
Jika alasannya terkait pelanggaran hukum, maka harus dilakukan penegakan hukum, jangan ke sekolah.
Bila interaksi siswa rendah dengan orangtua, maka dipercepat pulang.
Bakhrul menjelaskan, intensitas belajar berkualitaslah yang harus ditingkatkan.
Penyediaan sarana dan prasarana, misalnya perpustakaan, pendidikan gratis, dan adanya bimbingan belajar.
Kemudian bagaimana anak bermain sambil belajar, makan, dan minum terfasilitasi. Itu yang harus diupayakan.
"Jika jam di sekolah ditambah, maka kualitas belajar akan menurun. Siswa jadi lelah. Itu akan melelahkan pikiran," tutur Bakhrul.
Karena itu, dia mengingatkan jangan membuat kebijakan demikian tanpa diskusi dengan komite sekolah atau stakeholder lain.
Masalah geng motor diselesaikan dengan lima hari sekolah, itu tidak berkorelasi.
Anggota Komisi E DPRD Sumut, Fajri Akbar, mengatakan bahwa sebagai mitra kerja, sampai saat ini Dinas Pendidikan Sumatera Utara belum ada membicarakan kebijakan itu kepada lembaganya.
"Terkait program ini, ya, kami melihat sejauh ini masih pandangan pribadi masing-masing. Jadi, belum ada pandangan kelembagaan. Namun, Komisi E akan memanggil Dinas Pendidikan untuk menjelaskan sekolah lima hari," kata Fajri.